Writober 2: Adaptasi Screen Time pada Masa Belajar dari Rumah

Pandemi Covid-19 mengubah banyak aspek dalam kehidupan. Demi mengatasi penularan, sejumlah pembatasan aktivitas pun dilakukan. Tak terkecuali soal sekolah. Hingga kini, banyak sekolah belum mengadakan lagi sesi tatap muka secara langsung untuk kegiatan belajar mengajar. Termasuk sekolah anak-anak saya. 

Agar aktivitas belajar dapat tetap berjalan, pastinya dibutuhkan sarana lain sebagai perantara. Teknologi menjadi pilihan utama di daerah-daerah yang kondisinya memungkinkan. Penggunaan gawai di kalangan anak sekolah pun meningkat, karena dengan alat inilah materi pelajaran sekolah diberikan. Mau tak mau, siswa maupun orang tuanya harus beradaptasi.

Banyaknya kegiatan daring untuk kebutuhan belajar dari rumah ini memang membawa sejumlah dampak susulan. Dari segi psikologis, suasana belajar yang berbeda membuat situasi di rumah kadang menjadi tegang. Secara fisik pun, kesehatan mata anak jadi berpotensi terpengaruh. Orang tua kadang hilang kesabaran ketika harus menjalankan peran tambahan sebagai guru untuk mata pelajaran yang belum tentu orang tua sendiri menguasai, anak pun tertekan jika ada tuntutan yang membebani dari sekolah dan/atau orang tua. 
Sudah banyak webinar maupun kulwap yang mengupas trik agar belajar daring enggak bikin darting (darah tinggi alias naik pitam). Namun, sepengamatan saya baru sedikit yang secara khusus membahas efeknya terhadap mata anak.
 
Padahal sebelum pandemi ini saja sudah ada batasan-batasan untuk screen time anak, lalu bagaimana jika kini menjadi keharusan bagi anak untuk banyak melihat layar demi keperluan belajar? Makanya, saya senang sekali bisa menyimak penjelasan dari dr. Tri Ayu Lestari, Sp.M. lewat webinar Kiat Menyiasati Kesehatan Mata Anak pada Masa Kelas Online yang diselenggarakan oleh RSU Hasanah Graha Afiah (HGA) bekerja sama dengan komunitas SmartMumsId, tanggal 10 Oktober lalu.
 
Dokter Tri Ayu menjelaskan bahwa screen time yang bertambah memang punya sederet efek, di antaranya:
  • Meningkatkan risiko miopia maupun menambah minus bagi yang sudah.
  • Menyebabkan stres, kecemasan, berkurangnya keterampilan sosial, dan masalah perilaku lain.
  • Mengganggu pola tidur.
Miopia alias rabun jauh atau seringkali oleh orang awam disebut sebagai “mata minus” adalah kondisi yang salah satunya disebabkan oleh mata yang “dipaksa” untuk melihat jarak dekat terus-menerus, sampai mencembung dan akhitnya kesulitan untuk melihat jarak dekat. Kondisi ini dialami oleh 25% populasi dunia. Ada penyebab lain seperti kelainan bawaan ataupun penyakit, tetapi bahasan kali ini dibatasi pada miopia sebagai salah satu risiko dari meningkatnya screen time
 
Apa saja ciri-ciri anak yang diduga mengalami miopia? Kita sebagai orang tua perlu waspada jika anak menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
  • Memegang buku atau gawai terlalu dekat dengan mata (karena kalau dijauhkan menjadi kurang jelas terlihat)
  • Secara konstan duduk terlalu dekat dengan televisi.
  • Memicingkan mata atau menutup salah satu mata ketika membaca tulisan yang berukuran kecil.
  • Sering mengalami sakit kepala.
  • Mata berair secara berlebihan.
  • Sering menggosok-gosok mata.
  • Kesulitan belajar di sekolah karena tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas.
Anak bisa pula mengalami eye strain atau kelelahan pada mata, yang disebabkan oleh:
  • Mata terfokus dalam waktu lama tanpa berkedip.
  • Mata/muka berhadapan dengan angin dingin/hangat.
  • Ukuran koreksi kacamata/soft lens yang tidak tepat, sehingga penglihatan buram akan memperberat keluhan eye strain.
  • Bekerja di lingkungan dengan pencahayaan terlalu kurang terang atau justru terlalu terang (menghadap cahaya langsung).
  • Posisi kerja kurang ergonomis (termasuk berbaring, telungkup, dan duduk tidak tegak).
Untuk menolong kondisi miopia, biasanya dokter akan meresepkan kaca mata yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Nah, di sini ada mitos seputar pemakaian kacamata yang sering beredar. Benarkah kalau kita memakai kacamata maka mata akan semakin malas bekerja?
 
Jadi, ketika tidak pakai kacamata, mata akan berakomodasi. Lensa mata semakin menegang, berusaha bagaimana caranya agar bisa melihat. Kalau pakai kacamata, kerja mata akan terbantu. Ketika pemakai kacamata melepas kacamata, biasanya memang yang dilihat akan tampak lebih buram. Ini yang membuat orang berpikir kalau pakai terus maka mata akan “manja”.
 
Ini pendapat yang salah, jelas dr. Tri. Justru kalau tidak pakai kacamata maka mata akan semakin tegang. Kalau memang mau membantu mata kita, kurangi near work. “Senam mata” dengan latihan melihat jauh dekat sampai fokus, maupun lirik kanan dan kiri juga bisa menolong mata, minimal mengurangi rasa lelah, tetapi bukan untuk tujuan mengatasi masalah miopia yang sudah terjadi.
 
Contoh-contoh near work adalah:
  • Membaca buku: kurang terang, di dalam mobil.
  • Menulis
  • Menonton televisi
  • Memakai komputer, ponsel, gawai lainnya
  • Menjahit/membordir
  • Menggunakan mikroskop
Tips lain yang diberikan oleh dr. Tri Ayu adalah:
  • 2-3 jam sebelum tidur jangan pegang gadget lagi.
  • Jika memungkinkan, pakai layar yang lebih besar untuk belajar. Layar ponsel yang mungil lebih menyulitkan bagi mata.
  • Pakai tetes mata untuk mengurangi mata kering boleh, tetapi bukan obat sakit mata yang berisi antibiotik dan antiradang ya. Lebih ke pengganti cairan mata buatan.
  • Terapkan 20-20-20. Apa itu? Bisa dilihat pada gambar di bawah, ya … Jadi, setiap 20 menit pemakaian gawai, istirahatkan mata selama 20 detik, dengan mengalihkan pandangan pada sesuatu yang jaraknya sejauh 20 kaki atau sekitar 6 meter.
 
Bagaimana dengan kacamata anti-sinar biru (blue light) yang sekarang banyak dijual? Konon katanya, kacamata ini bisa melindungi mata, khususnya mata anak-anak, dari paparan sinar biru yang dihasilkan oleh gawai. Tujuannya, tentu agar mata anak tetap terjaga kesehatannya meski harus sering memakai gawai. Nah, dr. Tria menjelaskan bahwa kacamata seperti ini belum ada bukti manfaatnya secara ilmiah. Selengkapnya bisa dilihat di infografis yang dibagikan oleh dr. Tri.
 
Wah, ternyata sinar biru yang keluar dari gawai tidak cukup signifikan untuk menyebabkan masalah pada mata. Yang lebih penting untuk mendapat perhatian adalah cara pemakaian gawai, bukan sinar birunya. Jadi, jelas, ya, bahwa kacamata anti-sinar biru sebenarnya tidak diperlukan.
 
Mengingat mata termasuk organ yang penting, apakah diperlukan pemeriksaan rutin seperti gigi yang perlu dicek setiap enam bulan sekali meskpun tidak ada masalah? Idealnya, sebagaimana disebutkan oleh dr. Tri, check up mata anak dilakukan minimal tiga kali dalam periode lima tahun pertama kehidupan, yaitu pada usia 0 s.d. 1 tahun, 3 tahun, dan menjelang usia masuk sekolah. Setelahnya, pemeriksaan mata dapat dilakukan setahun sekali.
 
Bagaimana jika anak sudah telanjur memakai kacamata? Apakah masih bisa membaik dengan sendirinya? Pada anak, karena masih dalam masa pertumbuhan, panjang bola mata memang masih bisa berubah. Bisa saja minusnya stabil atau berkurang. Namun, pada kenyataannya hanya sedikit sekali dibandingkan dengan yang naik, karena kebiasaan masa sekarang yang sulit dilepaskan dari gadget. Karena masih masa pertumbuhan ini jugalah, operasi lasik pada anak-anak tidak disarankan.
 
Ada pula yang berusaha melalui vitamin mata yang dipercaya bisa mengatasi mata minus, tetapi apakah benar ini ada manfaatnya? Dokter Tri menerangkan bahwa vitamin itu untuk menutrisi syaraf mata, sedangkan kacamata itu untuk membantu kelainan bentuk bola mata. “Jadi enggak matching kalau ada yang bilang nutrisi tertentu bisa mengurangi minus. Kalau syaraf mata bagus memang bisa jadi terbantu, tapi tidak sampai bisa mengubah bentuk bola mata,” jelasnya.
 
Wah, banyak sekali pengetahuan baru yang saya peroleh dari kegiatan ini. Semoga dengan bekal ilmu seputar mata anak ini, saya jadi lebih mudah beradaptasi dengan keharusan pemakaian gawai untuk kegiatan belajar anak, sekaligus menerapkan tips untuk menjaga kesehatan mata anak.
 
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Adaptasi

19 thoughts on “Writober 2: Adaptasi Screen Time pada Masa Belajar dari Rumah

  1. Sejak pandemi, screen time bertambah. Hiksss… sedih sih. Tapi entah gimana lagi wkkw. Soalnya kondisi rumah juga sedang tidak bersahabat. JAdi ruang untuk anak bergerak sangat minm. Akhirnya kami beberapa bulan belakangan suka ajak keluar rumah ke tempat2 hijau untuk menghirup udara segar dan mereka bebas main, sendirian juga sih hehe

  2. Nah ini nih butuh banget pembahasan gini haha aku aja yg liat&kadang bantuin adek belajar daring tuh bikin darting banget loh pdhal udh gede, udh Smp tp duh pusing nya haha

  3. Wah temanya menarik, relate banget dengan kehidupan sekarang Mbaak. Hari biasa screen time dibatasain, lah PJJ kayak ambyar gitu ya Mbak. Ngebayangin para emak emak beranak PJJ :’)

  4. Wah iya bener, kacamata anti radiasi lagi booming nih buat anak2.. oh tnyata ga ngaruh ya.. emang anak2 harus diperhatiin bgt soal gadget.. slain takut merusak mata, khawatir kecanduan sama gadget jg.. huft

  5. Aduh makasih banget nih catatannya, peer sekali ngatur screen time saat masa belajar di rumah gini. Kadang nggak bs gimana-gimana juga soalnya kita juga butuh jeda waktu untuk membereskan urusan sendiri, hiks.

  6. Karena aku belum punya anak sekolah, jadi tips-tips ini aku yang pake dulu ya mbak, hehe.. karena memang kerjanya menghadap laptop terus 😀

  7. 20-20-20 rule ini saya kenal di teknik produktivitas, ternyata untuk anak juga bisa dipraktekan terutama untuk kesehatan mata juga. Vitamin juga memang penting banget, duh bener banget ini, tapi suka lupa minum.

  8. Ternyata gak seseram itu ya, kan banyak banget berita yang ngabarin kalau gawai itu merusak mata dll

  9. Wah wah wah, saya jadi ketularan dapat ilmunya nih. Makasih ya Mbak leila.
    Dua hal yg baru saya tahu, kacamata biru dan vitamin mata itu tdk berpengaruh thd minus ya. Baiklah.. Emang baiknya peduli pada mata itu Perlu dipupuk ya. Saya merasa sering melakukan kesalahan sih. Ngajak anak baca tapi karena saya malas duduk jadinya sambil rebahan. Hehe

  10. Ga kebayang punya anak sekolah yang harus terus menerus menatap gawai dalam waktu yg cukup lama. Aku aja matanya suka lelah

  11. Aku aja sekarang nyesel mba, kenapa dulu nggak usaha banyakin makan wortel dulu, sekarang udah terlanjur make kacamata. Mata emang harus dijaga hati-hati, dan kelasnya seru banget ya itu.

  12. Wah, relate juga sama aku ini. Meskipun gak ikutan darting krn anak PJJ, ak trmasuk yg ada d depan monitor berjam-jam dalam sehari. Mulai dr kerja, nonton drkor, ngeblog. Postingan ini jadi semacam pengingat utk lenih sehat lagi.

  13. anak saya PJJ nya gak do depan komputer, tapi nonton youtube yang begitu. yaah sama aja ya. uda gitu bobtonnya deket banget sama layar sampai saya harus terus ngingetin buat nonton agak jauhan. nampaknya memang harus disiplin sejak dini biar nonton gak terlalu deket layar agar terhindar dari screen time ya

  14. Pingback: Pesona Buku Fisik Yang Masih Tetap Menarik | Cerita-Cerita Leila

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s