Salah satu tips atau bahkan slogan (doktrin?) yang sering saya simak sehubungan dengan menjalankan peran sebagai seorang ibu adalah “jangan lupa bahagia”. Ibu yang bahagia akan lebih ringan melangkah dan menularkan pula kebahagiaan ke anggota keluarga lainnya. Kalau seorang ibu tidak bahagia, sekeluarga pun bisa terkena dampaknya.
Hanya saja, pada praktiknya memang untuk bisa merasakan bahagia itu sendiri kadang-kadang menantang. Iya, sih, konon bahagia itu tergantung perspektif kita. Namun, ada saja kondisi yang membuat kita (saya, sih) kesulitan mengatur perspektif. Apalagi dalam masa-masa lebih banyak di rumah saja seperti sekarang.

Karena itu, saya dengan antusias menyimak #KelasUsagi “Parenting in New Normal, Ibu Tetap Waras dan Anak Tetap Bahagia” bersama Usagi Snack pekan lalu, dengan narasumber Mbak Irma Gustiana Andriani, S.Psi, M.Psi, Psi, PGCertPT atau biasa dipanggil dengan Mbak Ayank Irma.
Mbak Ayank mengingatkan, saat ini dunia banyak sekali mengalami perubahan dari segala aspek. Ketika kita tidak mampu menyesuaikan diri, bisa berpotensi stres, termasuk pada anak.
Tanda stres pada anak:
-
Rewel
-
Konsentrasi menurun
-
menunjukkan perilaku agresif dan destruktif/merusak
-
melawan atau membantah.
Bisa juga sifatnya psikosomatis:
-
sakit perut
-
sariawan
-
sakit persendian atau otot
-
perubahan selera makan
-
gangguan pola tidur
-
regresi potty training/kembali mengompol pada balita.
Ya, kita sebagai ibu perlu peka terhadap perubahan emosi anak-anak. Jika melihat tanda perubahan perilaku, segera intervensi dengan menanyakan perasaan anak. Dengarkan keluhan anak agar ia merasa dimengerti, tapi jangan judgmental atau menyalahkan anak.
Kalau anak sampai sudah menunjukkan tanda-tanda stres di atas, maka yang bisa kita lakukan adalah:
-
Ibuk jangan ikutan stres, karena mempengaruhi interaksi ibuk dan anaknya.
-
Pahami dan terima perasaan anak, perlu divalidasi agar ia merasa dipahami,
-
Dengarkan keluhan anak tanpa memberikan penilaian.
-
Diskusikan dan buat jadwal rutinitas harian.
-
Ketika anak dalam emosi negatif, berikan ia ”ruang” pribadi untuk mengekspresikan emosinya dengan cara yang tepat
-
Ajarkan strategi/teknik mengatasi rasa tidak nyaman, misalnya dengan menarik napas teratur
-
Rancang virtual playdate agar anak tetap terhubung dengan teman & keluarga
-
Kuatkan anak bahwa pandemi akan berlalu untuk menumbuhkan harapan dan optimis.
Kita juga bisa menciptakan peluang beraktivitas bersama seluruh anggota keluarga. Variasikan dengan kegiatan non-gadget, karena kebanyakan gadget bisa buat anak justru lebih mudah marah-marah dan frustrasi.
Jaga Bahagia Meski di Tengah Tantangan
Apa saja yang bisa kita lakukan agar anak dan seisi rumah tetap bahagia? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yang sekilas sepertinya standar saja, tetapi saking sudah menjadi rutinitas kadang jadi kita abaikan.
-
tetap berada di dalam rumah
-
menjaga kesehatan
-
tetap mempraktikkan 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan)
-
makan makanan yang bergizi
-
mencari informasi yang akurat.
Hal-hal lain yang tidak bisa kita kontrol, jangan sampai membuat terlalu berlebihan dalam memikirkannya. Yang pasti, dukungan antaranggota keluarga amat penting.
Jangan lupa, selipkan waktu 30 menit buat me time agar ibuk tetap bahagia. Kalau kita sampai merasa enggak bisa punya waktu, kata Mbak Ayank, berarti ada yang salah sama jadwal dan prioritas. Atur ulang, ya.
Sebaiknya me time tidak buru-buru. Lakukan pada waktu yang nyaman, ambil saat anak-anak sedang tidur. Bisa pada malam hari, 15-30 menit saja untuk diri sendiri. Cari sensasi tenang, buat jurnal atau sekadar minum teh hangat jelang tidur akan menurunkan stres.
Kenapa kita jadi stres? karena ada harapan yang mungkin lebih. Jadi, turunkan sedikit ya ekspektasi dan harapannya .Untuk kegiatan belajar daring, orang tua perlu menurunkan standar tentang “sekolah dan belajar” di masa kini. Karena sekolah daring itu dianggap sebagai media belajar “darurat”, jadi harusnya sikap kita juga tetap realistis. Kalau anak bosan, wajar. Yang penting respons kita pada sikap anak. Pahami situasinya, tawarkan sedikit bantuan, dan komunikasi dengan sekolah. Sekolah harusnya juga sangat paham.
Kadang kita terpancing untuk marah-marah, padahal sudah tahu bahwa ini tidak akan menyelesaikan “masalah” juga. Lantas, apa yang harus kita perbuat? Kata Mbak Ayank, pertama, coba cek kembali apa sih yang biasanya membuat ibuk jadi stres menghadapi anak? Apakah karena lelah urusan domestik dan kerjaan? Apakah sekolah menuntut berlebihan? Apakah anak sudah cukup makan tidur istirahat? Atau ada variabel lain.
Yang harus kita pahami adalah bahwa situasi ini memang tidak nyaman bagi orangtua, apalagi anak yang harus menjadi pelaku pembelajarannya.
“Coba deh saat waktu senggang ajak anaknya bicara dan ngobrol, tanyakan perasaannya selama sekolah daring. Apa yang enak dan nggak enak? Agar kita bisa lebih berempati. Lalu kalau anaknyang gak paham pelajarannya? Nah, ini harus disikapi realistis, karena belajar daring memang kurang optimal untuk sebagian anak, apalagi yang aktif. Jadi, ibuknya perlu tenang. Kalau mau marah, tarik napas buang napas ya. Kalau sudah tenang, baru dampingi anaknya. Jangan lupa komunikasi dengan pihak sekolah kalau ada kendala,” pesan Mbak Ayank.
Siap Hadapi New Normal
Salah satu yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua yang mendampingi anak belajar daring adalah sulitnya anak mempertahankan fokus. Bayangan kita mungkin anak akan duduk diam menyimak sesi belajar daring dengan tertib, sedangkan kenyataannya sebaliknya. Kata Mbak Irma, faktor penyebabnya bisa banyak kemungkinan. Karena faktor usia, bosan, jenuh, ingin segera main, pelajaran tidak menarik, dan lain sebagainya. Jadi pahami dulu, kira-kira apa penyebabnya sehingga bisa kita intervensi.
“Memang masa ini kesabaran ibu sangat diuji, keikhlasan kita dalam menjalani peran pengganti sebagai guru juga menentukan sukses tidaknya anak belajar di rumah. Sabar, ikhlas, dan bergembira, itu dasarnya. Jadi saat anak tidak fokus, tegur secara perlahan ya. Kemudian berikan dorongan dan semangat, sistem reward atau hadiah berupa makanan yang dibuat ibuk juga bisa diberikan sebagai penghargaan ketika dia semangat mengikuti kelas. Semangat juga buat ibunya ya!” terang Mbak Ayank.
Ada masanya memang orang tua mengalami burnout atau tingkat stres yang berlebihan. Bila itu dibiarkan, akan berdampak pada fisik dan mental, sehingga tidak ideal untuk mengasuh anak karena berpotensi melakukan tindakan yang tidak rasional seperti kekerasan. Maka mencari dukungan sosial menjadi hal yang utama. Jika bisa bekerja sama dengan orang tua atau mertua kita, maka akan lebih baik.
Namun, jika opsi di atas sulit dilakukan, berarti memang perlu adanya orang ketiga yang dipercaya untuk membantu ayah dan ibuk ketika keduanya lelah secara emosional. Jadi orang tua bisa mengambil waktu sesaat untuk mengelola diri dan emosi sebelum akhirnya siap kembali berinteraksi dengan anak.
Tidak ada pola asuh yang tepat di masa pandemi, Mbak Ayank menekankan, karena masa kritis ini baru pertama kali kita rasakan, jadinya semua serba “baru”. Namun yang paling utama adalah memberikan rasa aman dan nyaman serta cinta kasih sayang. Bayangin aja, situasi ini kan tidak aman, nah kalau rumah juga tidak aman, di mana anak mencari keamanan dan kenyamanan? Jadi tetap berikan perhatian dan sayang yang optimal ya.

Kita pun juga rasanya ingin segera kembali pada masa-masa normal ya. Anak pun pasti begitu.
“Bila anak menyatakan perasaan itu, gpp ditampung dan divalidasi saja pernyataannya agar anak merasa dimengerti orang tuanya, sambil memberikan dukungan positif. Sebelumnya, cek dulu apakah kita sebagai orang tua juga telah memiliki mindset positif dalam menghadapi era new normal? Jika iya, tidak usah khawatir dengan mindset anak. Karena namanya anak akan meniru dari apa yang dia lihat, dengar, dan rasakan setiap harinya dari orang tua mereka,” tegas Mbak Ayank.
Oh ya, pertanyaan saya enggak sempat terjawab, tapi kurang lebih sudah terwakili oleh influencer @makcentong yang juga sempat mengalami isolasi walaupun kondisinya beda, dan ini jawaban Mbak Ayank:
“Pascaperistiwa yang kurang menyenangkan, memang perlu adaptasi kembali dengan situasi baru. Tidak mudah, harus pelan-pelan sekali menatanya. Yang paling utama, realistis dulu dengan keadaan sekarang. Biasanya stres muncul juga karena ada pemikiran yang bisa saja berlebihan. Pastikan ibuk beri respons positif, jangan uring-uringan agar anak becermin dari sikap Ibuk. Tiap kali tidak nyaman, atur napas. Tarik napas dalam, buang melalui mulut. Ini cukup melegakan.”
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Nihil
Baru paham ternyata tanda stress pada anak bisa dilihat dengan beberapa tanda langsung seperti itu ya. Selama ini kalau tantrum dikira emang lagi rewel aja, ternyata bisa jadi stress.