Seperti sudah sempat saya ceritakan di
tulisan sebelumnya, dengan adanya kesempatan untuk lebih banyak berada di rumah saja artinya kita juga bisa lebih leluasa mengaplikasikan produk perawatan kulit. Tanpa keharusan untuk melapisi lagi dengan produk dekoratif (saya pakai bedak hanya kalau mau ada
zoom meeting, itu juga seringnya lupa hahaha), rasanya lebih ringan saja di wajah ketika kita hanya mengaplikasikan serum, pelembap, dan/atau toner.
Salah satu produk perawatan kulit yang jadi lebih rajin saya pakai meskipun (atau karena?) di rumah saja adalah sunscreen alias tabir surya. Makin ke sini memang makin terasa perlunya melindungi kulit. Apalagi kalau sedang bercermin, wah, “dosa-dosa” tampak semua. Maklum, faktor U.
Mama saya dari dulu sudah sering mengingatkan saya agar tidak malas memakai tabir surya agar kulit tetap sehat. Investasi jangka panjang istilahnya, karena hasilnya memang tidak terlihat dengan jelas dalam waktu singkat. Kata mama, nanti di usia tua, akan sangat terlihat bedanya antara yang rajin memakai sunscreen dengan yang tidak. MInimal, dari spot-spot kehitaman yang suka muncil di kulit wajah. Sayangnya, saya juga masih angin-anginan. Bukan apa-apa, rasanya lengket dan berat saja gitu di muka.
Sekarang sejak tidak harus ke kantor setiap hari, “tidak sempat” sudah seharusnya tidak boleh dijadikan alasan untuk melewatkan pemakaian produk perawatan kulit. Setidaknya ada waktu yang dihemat dari tidak perlunya melakukan perjalanan berangkat ke kantor. Perasaan kurang nyaman di kulit pun mestinya lebih bisa ditoleransi, atau sekalian jadikan kesempatan untuk “bertualang” memilih produk yang cocok dan enak di kulit, mumpung tidak sedang harus bertemu dengan orang banyak.
Nah, tapi memangnya seperlu itukah tetap memakai tabir surya saat di rumah saja? Kalau ketika terpapar sinar matahari langsung sih logis, ya. Misalnya ketika sedang berjemur pagi, seperti yang banyak dianjurkan untuk memperkuat daya tahan tubuh terlebih pada masa pandemi. Namun, setelah sesi berjemur usai lalu kita mengerjakan aktivitas lainnya di dalam ruangan yang tidak terkena paparan sinar matahari langsung, apa iya tetap harus mengoleskan tabir surya?
Bulan lalu saya mengikuti webinar dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK., FINSDV, FAADV., salah satu dokter spesialis kulit yang sudah cukup senior dan punya nama terutama di kalangan muslimah. Beliau sempat menyebut dalam materinya bahwa paparan api kompor pun bisa berdampak buruk bagi kulit kita. Makanya, saat memasak pun seharusnya kita tetap memakai tabir surya. Penjelasan ini pernah saya dengar juga dari seorang teman, tetapi saya belum sempat menelusuri lebh lanjut soal referensi ilmiahnya.
Selain api kompor, bahkan sinar matahari yang tidak secara langsung pun ternyata bisa berdampak kurang baik untuk kulit kita. Saya kutip dari Glamour, mayoritas jendela sudah mampu melindungi kita dari sinar UV-B, tetapi tidak dari sinar UV-A. Efek dari sinar UV-A ini memang tidak seinstan sinar UV-B yang bisa membuat kulit kita menggelap warnanya ataupun terbakar (sunburn), tetapi untuk jangka panjang malah lebih berbahaya. Dampak buruk dari sinar UV-A antara lain menurunkan produksi kolagen kulit kita, bahkan bisa menyebabkan kanker.
Masih dari Glamour, Joshua Zeichner, M.D., Direktur Riset Kosmetik dan Klinis Dermatologi di Mount Sinai Hospital New York menambahkan bahwa ternyata sinar biru dari lampu yang ada di rumah dan layar komputer maupun gawai lainnya pun berisiko merusak kulit yang tidak dilindungi oleh tabir surya. Efeknya, bisa muncul kerutan maupun titik-titik gelap pada wajah.

Untuk melindungi kulit kita secara lebih optimal, pastikan tabir surya yang kita pakai memberikan perlindungan dari sinar UVA maupun UVB. Pada kemasannya, biasanya ada tanda PA++. Jangan lupa pula untuk mengaplikasikan ulang tabir surya pada kulit setelah berwudhu misalnya. Jadi, sesungguhnya tabir surya memang bukan hanya untuk dibubuhkan pada pagi hari seperti saya tuliskan pada judul, melainkan beberapa kali sepanjang hari sesuai dengan petunjuk pemakaian yang tertera pada kemasan. Umumnya sih jarak waktu untuk memakainya lagi adalah sekitar dua hingga enam jam sekali.
Baca juga: Cara Tepat Merawat Kulit
Oh ya, tabir surya itu sendiri ada dua macam dilihat dari sifat bahan aktifnya. Saya sarikan dari NBC:
- Physical, jadi memang memblokir sinar UV dan sinar biru dengan cara membentuk semacam tameng secara fisik di kulit. Biasanya kandungan aktifnya adalah mineral zinc oxide atau titanium dioxide. Tabir surya jenis ini cocok untuk yang punya kulit berminyak atau berjerawat, karena posisinya di luar lapisan kulit (tidak menyerap) sehingga kemungkinannya kecil menyumbat pori-pori. Namun, hati-hati jika dikombinasikan dengan pemakaian obat jerawat, karena bisa menyebabkan kulit menjadi kering.
-
Chemical, sesuai namanya terbuat dari zat kimia yang menyerap sinar UV sebelum sempat menghasilkan efek negatif pada kulit. Hanya saja, zat yang terserap ke kulit ini diduga memiliki efek samping juga yang berhubungan dengan kesehatan organ reproduksi, meski studinya baru terbatas pada hewan.
Terakhir, para pakar maupun penulis di berbagai artikel yang saya baca kompak menekankan bahwa tabir surya yang baik adalah yang kita pakai. Maksudnya, jangan sampai waktu dan energi kita habis untuk mencari tahu mana yang paling pas dan aman sampai-sampai akhirnya malah menunda memakai tabir surya. Sebab, semakin awal kita merutinkan pemakaiannya, tentu manfaatnya juga akan lebih cepat terasa.
Ilustrasi: Pexels
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Pagi
Like this:
Like Loading...
Related
makasih cantik atas artikelnya, menarik sekali. kalau boleh dikasih tau tabir surya yang rekomen apa aja sis