Akhir tahun kemarin, grup Alumni Kelas Menulis Media Berkarya yang saya ikuti diramaikan dengan ajakan menulis antologi. Saat itu Kelas Menulis Media Berkarya, komunitas yang diinisiasi oleh Mas Ibra Muhammad ini sudah mencapai 20 batch lebih. Saya sendiri baru tahu dan ikut mulai batch 20 dan seterusnya, walaupun ada juga bolong-bolongnya untuk tema yang kurang saya minati.
Kelas-kelas via whatsapp yang dikoordinasi oleh Mbak Livia Oktora ini menurut saya sangat keren karena bisa menghadirkan pemateri yang senior seperti Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, Jujur Prananto, Sudjiwo Tejo, A. Fuadi, Oka Rusmini, Joko Pinurbo, Maman Suherman, Butet Kertaradjasa, Ratih Kumala, sampai Ivan Lanin. Bergantian tentunya, biasanya setiap batch ada dua pemateri dengan fokus pada jenis tulisan tertentu, dari puisi hingga novel. Harganya juga termasuk terjangkau, apalagi dengan adanya kesempatan mendapatkan komentar atas tugas oleh pemateri.
Sebagaimana akad awal, memang tidak ada tujuan membuat buku setiap batch-nya. Hanya memang disebutkan kesempatan membuat buku antologi bersama alumni. Jadi, ada tidaknya buku antologi, juga kapan waktunya, masih belum bisa dipastikan. Sekali waktu, saya mengikuti pembuatan buku antologi di sini dengan konsep surat. Kalau yang jenisnya puisi, saya memutuskan untuk tidak ikut dulu. Nah, berikutnya muncul lagi ajakan menulis bersama dengan konsep senandika.
Saya terus terang mengerutkan kening ketika membaca konsep buku antologi yang akan dibuat pada penghujung tahun 2019 itu. Senandika? Apa itu? Namun, meski masih bingung, saya memantapkan langkah untuk ikut bergabung dalam grup khusus alumni yang berminat ikut. Ternyata memang dalam grup ini dijelaskan dulu tentang makna dari jenis tulisan senandika.
Mas Paput Tri Cahyono atau nama penanya Ilham Phapud menjadi koordinator proyek ini, dan beliau jugalah yang memberikan pembekalan singkat sebelum proyek dimulai. Mas Phapud mengutip dari Wikipedia bahwa senandika atau solilokui adalah wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar. Kalau saya cek, sih, definisi ini sama dengan yang tercantum di KBBI, ya.
“Untuk tulisan sendiri, bahasa mudahnya senandika itu adalah jenis tulisan yang berisi curhatan, tetapi ditulis dengan bahasa yang indah dengan pemilihan diksi yang tepat, hanya saja tidak mengandung unsur metafora alias dijelaskan secara gamblang. Untuk contoh tulisan-tulisan senandika, kalian boleh browsing atau baca buku-buku karya penulis seperti: Tia Setiawati, Boy Candra, Fiersa Bersari, Wira Nagara, Bryan Khrisna, dan masih banyak lagi sih. Kebanyakan sendu dikarenakan itu yang “laku” di pasaran Indonesia, meski sebenarnya banyak juga senandika tentang jatuh cinta yang bagus kok. Hanya saja memang kita terkadang-entah mengapa-menjadi lebih nyaman dengan sendu,” terang Mas Phapud.
Mas Phapud kemudian mengirimkan contoh beberapa tulisan senandika. Digarisbawahi olehnya, tidak ada metafora yang berat dalam tulisan-tulisan tersebut. Diksinya pun terkesan sederhana, tetapi bisa dikatakan tepat penempatannya. Sekaligus ditunjukkan pula senandika yang konsepnya adalah kisah cinta penuh bahagia, bukan galau ataupun sendu.
Inilah buku hasilnya, antologi senandika dengan judul Cinta Sebatas Waktu, dengan penerbit Media Literasi.

Setelah membaca isi buku ini, maksudnya tulisan dari kontributor-kontributor lain, saya jadi memahami keragaman tulisna yang bisa disebut sebagai senandika. Pada dasarnya mirip dengan tulisan di blog ini yang bersifat curhatan, ya, hanya saja memang jauh lebih rapi karena dimaksudkan sebagai tulisan lepas (sedangkan blog biasanya terikat pada karakter ataupun personal branding pemiliknya).
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Senandika
Kak, senandika minimal harus berapa lembar?