Festival Literasi Kementerian Keuangan tahun ini diselenggarakan dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Pandemi memaksa sejumlah penyesuaian dilakukan di berbagai aspek kehidupan, termasuk penyelenggaraan kegiatan. Salah satu yang diundang tahun ini adalah psikolog Tara de Thouars yang menyajikan topik Surviving & Growing during Pandemic.
Bertahan dalam situasi pandemi memang tidak mudah bagi banyak orang. Boro-boro memikirkan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Situasi pandemi ini membuat banyak orang menyadari pula pentingnya kesehatan mental. Mbak Tara yang adalah Psikolog Klinis di RSJ Sanatorium Darmawangsa dan Lighthouse Clinic ini langsung bertanya kepada para peserta mengenai hal-hal sebagai berikut:
Berikut penjelasan dari Mbak Tara:
Skor di bawah 2, ada masalah stres yang dialami sehingga perlu melakukan sesuatu.
Skor 3-5 stresnya termasuk tinggi sehingga jangan didiamkan, harus berupaya mengatasinya.
Skor di atas 6 artinya harus segera mencari bantuan profesional.
Setiap makhluk hidup punya insting untuk survive. Karena kita sudah terlahir di dunia sehingga mau tidak mau kita harus menjalani kehidupan kita. Itu adalah sesuatu yang natural dan sifatnya instingtif.
Ada dua macam insting kita ketika ada yang mengancam:
- Menghindari situasi yang berbahaya dan mengancam, baik secara fisik maupun emosi. Secara fisik misalnya kita akan menghindari kemungkinan kecelakaan. Virus corona menjadi menakutkan bagi sebagian besar orang karena mengancam survival kita. Ada pula ancaman dari segi emosional, misalnya kesedihan, rasa takut, rasa marah, rasa sakit, atau rasa kecewa.
- Menghadapi situasi yang mengancam ini sambil berupaya mencari cara agar tetap survive apa pun yang terjadi.
Situasi pandemi ini penuh dengan ketidakpastian, kita tidak tahu akan terjadi berapa lama, apakah pekerjaan kita kan tetap baik-baik saja, apakah anggota keluarga kita bisa selamat semua. Saking tidak bisa dipastikan, otak kita akan berpikir terus menerus, selau wondering dan bertanya-tanya, inilah sesungguhnya insting kita untuk berupaya menghindari situasi yang mengancam.
Selain itu, situasi pandemi ini sifatnya baru dan tidak familiar. Segala sesuatu yang bersifat baru ini bisa mengancam survival karena kita tidak tahu di situasi baru ini bisa terjadi apa. Pandemi pun erat kaitannya dengan kehilangan, dari kebebasan, produktivitas, stabilitas ekonomi, pertemanan, sampai anggota keluarga. Tidak heran banyak orang yang tingkat stresnya jadi tinggi, seperti bisa terlihat dari pasien Mbak Tara yang makin bertambah.
Dengan adanya insting untuk survive dan menghindari hal-hal yang mengancam survival kita, mau tidak mau kita jadi punya pikiran negatif yang tujuannya untuk mengingatkan kita dan mencegah agarkejadian negarif itu ketika terjadi. Ini dinamakan dengan pikiran negatif distorsi. Namanya juga distorsi, jadi sebenarnya pikiran yang ini tidak tepat. Kalau pikrian negatif ini bertahan, emosi kita bisa kacau balau. Misalnya:
- Memikirkan skenario terburuk, padahal belum kejadian apa pun. Akhirnya kita jadi overthinking. Misalnya, mau berangkat kerja banyak sekali kekhawatiran terkait penularan dan kemampuan bekerja
- Pikiran meramal, misalnya meyakini hidup kita akan berantakan.
- Menebak-nebak pikiran orang, misalnya yakin seseorang tidak menyukai diri kita. Biasanya ini berupa pikiran yang kita tidak ingin orang lain pikirkan tentang kita.
- Menyalahkan, baik menyalahkan diri sendiri maupun orang lain, padahal bukan sepenuhnya kesalahan di pihak yang disalahkan ini. Setiap kejadian kan pasti punya banyak faktor yang mempengaruhinya.
- Menggeneralisasi bahwa kejadian negatif pasti akan terjadi kapan pun dan di mana pun. Misalnya, kalau teman kena Covid, berarti kita juga pasti kena. Pekerjaan teman kita berantakan karena pandemi, pasti pekerjaan kita nanti juga.
- Judgmental atau melabel. Misalnya, kalau sampai terkena virus berarti kita adalah orang yang lalai, payah, tidak berguna, atau lemah. Jadi, kita lebay menilai diri sendiri.
Pada dasarnya, pikiran negatif bertujuan melindungi kita karena kita punyakebutuhan supaya bisa survive sehingga memikirkan hal terburuk terlebih dahulu dengan tujuan agar kita bisa mencegahnya. Kan kita memang tidak harus berpikir positif all the time. Kita bahkan mungkin perlu berterima kasih pada pikiran negatif yang menjaga diri kita. Namun, kalau dipikirkan terus-menerus, akibatnya bukan bikin survive melainkan bisa jadi malah sebaliknya, apalagi secara mental.
Pikiran negatif akan diterima oleh otak pusat emosi atau amigdala, lalu amigdala akan mengeluarkan alarm untuk memberitahukan adanya situasi mengancam. Sinyal pun terkirim ke seluruh tubuh kita untuk waspada dan berjaga-jaga. Kita jadi cemas, takut, tubuh tegang, asam lambung naik, jantung berdebar, keringat dingin, sebagai semacam persiapan untuk menghadapi hal yang bahaya ini. Masalahnya, situasi ini belum tentu benar-behar bahaya. Bisa saja false alarm, di mana situasi sebenarnya baik-baik saja, tetapi tubuh kita sudah telanjur mengeluarkan alarm. Kita jadi tidak tenang, tidak konsentrasi, dan tidak produktif.
Kelola Mindset, Kuatkan Pertahanan
Kita perlu survive, tetapi kadang pikiran kita tidak mendukung karena justru banyak pikiran negatif. Situasi tertentu membuat kita beremosi atau berperilaku tertentu, ungkap Mbak Tara. Padahal bukan situasi penyebabnya. Penyebabnya adalah mindset kita. Seberapa banyak kita percaya, itulah yang menentukan intensitas emosi kita. Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa mindset ini adalah suatu kebenaran? Mbak Tara mencontohkan ketika ada orang tak dikenal yang memperhatikan kita di tempat umum. Reaksi kita bisa takut, marah, berbunga-bunga, atau khawatir ada yang salah.
Mindset ini fungsinya adalah sebagai remote control. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi emosi kita. Kalau kita banyak depresi selama pandemi, mungkin karena mindset ini. Marah akan terjadi kalau kita menyalahkan hal-hal di luar diri kita.
Situasinya adalah Covid, tapi yang membuat kita bereaksi adalah mindset kita. Jadi yang perlu dilakukan bukan menghilangkan situasi negatifnya karena seringnya memang tidak bisa kita tolak atau hindari. Yang bisa kita lakukan adalah mengelola mindset kita. Apabila alarm kita menyala, kita sudah sukar berpikir jernih.
Mbak Tara berbagi sejumlah tips untuk mengelola mindset kita.
“Pertama, bawa ke kondisi yang rileks dulu dan pakai teknik bernapas atau grounding. Tarik napas dalam, tahan sebentar, buang perlahan, tahan sebentar sekitar masing-masing 4 detik, ulangi. Fokuskan pikiran hanya pada napas. Rasakan ada angin yang masuk dalam hidung hingga menyentuh rongga hidung paling atas, rasakan juga angin yang keluar dari hidung atau mulut, rasakan dada mengembang dan mengempis, amati dan perhatikan saja. Kalau ada pikiran lain yang muncul, tidak perlu kita bereaksi. Dengarkan suara di sekeliling tanpa bereaksi. Rasakan empuk kerasnya kursi atau tempat tidur yang kita tempati, rasakan punggung kita bersandar. Taruh tangan sebelah kanan ke dada sebelah kiri di atas jantung, rasakan jantung berdegup, amati apakah berdegup kencang atau lambat, tapi perhatikan saja, jangan bereaksi. Kalau sudah, buka mata, sebutkan dalam hati tiga benda yang dilihat di sekeliling.”
Pikiran distorsi sifatnya berisik dan muncul terus-menerus, jadi kita perlu grounding agar kita bisa merasakan sesuatu yang lebih netral. Bukan menghilangkan memang, tapi semacam mengabaikan. Teknik ini penting karena emosi dan logika tidak mungkin berjalan bersamaan. Jika mau mengubah mindset, maka logika harus berperan.
Ketika kita sudah rileks baru tanyakan ke diri kita sendiri, apakah pikiran distorsi ini memang benar atau hanya ketakutan kita saja. Pikirkan kemungkinannya, memang ada kemungkinan tertular tapi ada juga kemungkinan tidak tertular. Kalau pikiran ini tidak bermanfaat bagi kita, pikirkan apa yang kira-kira lebih bermanfaat.
“Intinya jangan biarkan emosi dan pikiran negatif kita mengambil alih. Pisahkan antara yang benar dan tidak, mana yang bisa kita lakukan sesuatu atasnya atau tidak, terjadinya sekarang atau di masa depan,” terang Mbak Tara.
Kita tidak selalu bisa menghindari hal negatif, tetapi kita punya aspek lain yang bisa kita berdayakan. Mbak Tara mengingatkan, mungkin kita punya kegagalan di satu bidang, tapi selalu ada hal lain di mana kita unggul. Jadi, diri kita bukan sama sekali tak berguna.
Mbak Tara meyakinkan, setiap orang pasti punya kekuatan atau senjata yang membantu agar tetap survive. Apa saja?
- Sikap, sifat, dan karakter positif. Kalau kita ragu atau tidak mengenal diri kita, kita jadi tidak punya senjata. Jangan ragu atau merasa diri ge-er saat menyebut hal baik dari diri kita.
- Kemampuan dan bakat, yang akan membantu kita.
- Keberhasilan dan pencapaian yang baik.
- Support system, siapa saja yang ada di sekitar kita untuk membantu kita.
- Pengalaman positif
- Sumber kenyamanan, bisa dari hobi atau kesukaan. Kalau sedang tidak memungkinkan untuk dijalani karena kondisi sekarang, pikirkan alternatif lain, bisa hobi yang sama tetapi dalam bentuk lain, atau justru mencoba hal yang baru.
Kita perlu berdamai dengan ketidakpastian. Memang ketidakpastian itu mencemaskan, tapi kepastian juga tidak selalu nyaman. Kita bisa jadi tidak punya harapan, padahal harapan itulah yang membuat kita “hidup” dan bertahan hidup.
Cek hal-hal mana saja yang memang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak bisa. Kalau tidak bisa dikendalikan, lepaskan saja, karena ngotot memikirkan hal-hal seperti ini akan bikin kita stres. Misalnya, masa lalu yang toh tidak bisa kita ubah lagi. Masa depan bisa kita upayakan, tapi ada hal-hal yang tetap tidak bisa kita prediksi. Ketidaksempurnaan harus kita lepaskan. Makin kita berusaha untuk harus sempurna, makin terbebani kita. Hal lain yang juga tidak bisa kita kendalikan adalah orang lain dan nasib kita.
Kalau mau berbuat sesuatu, maka fokuslah pada apa yang bisa kita ubah, khususnya untuk masa sekarang. Sikap, sifat, dan perilaku kita bisa kita ubah, misalnya menjadi lebih rajin dan kreatif mencari peluang. Selain itu, kita bisa tingkatkan kemampuan kreatif maupun kemampuan berinteraksi dengan belajar.
Tetap Growing di Tengah Situasi Sulit
Bukan hanya perlu bertahan di tengah tantangan, kita pun masih punya PR untuk tetap bertumbuh.
“Surviving sudah ada dalam insting kita, tetapi growing tidak. Maka growing harus kita usahakan. Growing ini di atas surviving, yaitu melakukan hal-hal yang menantang insting surviving kita. Pikirkan apa yang bisa kita lakukan,” urai Mbak Tara.
Kita memang punya kecenderungan menghindari growing karena ada ketakutan yang harus dihadapi, atau dengan kata lain ada risiko buruk. Makanya orang kadang memilih untuk tetap berada di zona aman yang sama dan tidak grow. Rasa takut ini bahkan bisa memanipulasi kita hingga akhirnya tidak berani mencoba dan tidak berbuat apa-apa meski hati kita inginnya growing. Solusinya, jangan fokus pada ketakutan dan risiko.
Berikut ini langkah-langkah growing yang dipaparkan oleh Mbak Tara:
- Tulis wishlist
- Masukkan aspek personal
- Cek kemungkinannya
- Tentukan langkah yang bisa kita lakukan dari apa yang kita pilih
- Pikirkan risiko dan cara mengatasinya, jadi aspek ini tetap dipikirkan tapi bukan di awal.
- Yakinkan diri kita dengan afirmasi positif.
Yakini dalam pikiran kita bahwa saat ini adalah situasi yang tidak sempurna, oleh karena itu kita juga tidak perlu menjadi sempurna. Terima, berikan kita ruang untuk menerima ketidaksempurnaan. Nanti kita malah stres. Yang juga membuat stres adalah putting too much expectations. Kalau sudah begini, standarnyalah yang harus kita ubah. Lakukan juga segala sesuatu per task. Jangan digabungkan atau multitasking karena kalau begitu nanti kontrol kita lebih kecil.
Kita bisa memilih mencoba delegasikan pekerjaan atau minta bantuan. Ada tipe orang yang lebih santai dan cuek untuk multitasking, tetapi ada juga yang merasakannya sebagai beban. Makanya harus dipilih mana yang penting dan mana yang urgent, mana yang bisa ditunda dulu atau tidak, didelegasikan atau tidak, atau malah dibuang segera.
Mbak Tara sempat menjawab pertanyaan yang saya titipkan lewat seorang teman berhubung pada saat sesi tanya jawab ternyata saya harus mengikuti meeting kantor. Yang ingin saya ketahui adalah bagaimana bertahan dan tetap berpikiran positif ketika kita sudah terkena dampak langsung dari Covid-19 alias diri kita yang terkonfirmasi terkena penyakit ini dan harus menjalani karantina atau isolasi mandiri. Kata Mbak Tara, yang pertama kita harus menerima segala emosi yang dirasakan, mulai dari takut, sedih, atau cemas, dan biarkan kita memproses emosi itu.
Seringkali yang membuat kita tambah stres adalah ketika kita tidak mau menerima perasaan itu, Misalnya, kita bilang ke diri sendiri bahwa kita tidak boleh sedih, kita harus jadi orang yang kuat. Akibatnya kita malah mendapatkan beban emosi yang lebih berat. Lebih baik kita terima emosi yang muncul, agar hikmah kebaikan dari peristiwa yang tidak menyenangkan ini bisa lebih terlihat.
Hikmahnya misalnya, kita bisa lebih menyadari betapa pentingnya keluarga begitu harus berjauhan. Kita bisa fokus pada apa yang bisa kita lakukan, seperti menjadwalkan video call rutin dengan keluarga, atau merencanakan kegiatan menyenangkan bersama keluarga jika sudah bisa berkumpul kembali. Selama menjalani proses karantina, seperti sudah dijelaskan tadi, grounding bisa membantu agar kita tetap tenang meskipun ada begitu banyak pikiran yang berkecamuk.
Terakhir, Mbak Tara mengingatkan untuk menjadikan momen pandemi bukan sebagai keterbatasan, melainkan momen untuk menggali potensi sebagai modal kita bertahan di tengah pandemi. Ingat juga bahwa kondisi ni tidak menghapus kebaikan dalam diri kita.
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Asa
Like this:
Like Loading...
Related
Bener banget kalau mindset sangat mempengaruhi emosi. Coba kalau kita mikir, besok hidup saya gimana, macam nggak ada harapan. pasti suasana hati jadi cemas, sedih dan nelangsa.
Berpikiran positif saat pandemi ini penting ya mbak supaya imunitas tetap terjaga. Karena dengan imunitas yg baik kesehatan baik maka kegiatan akan berjalan dengan lancar. Menarik artikelnya..Terima Kasih sudah berbagi
setuju nih mbak, pandemi ini memang sungguh menguras emosional sampai-sampai nggak terkontrol. Semoga dengan selalu berpikiran positif dan berusaha dijalan yang benar, InsyaAllah kita selamat ya mbak.
Mindset sih ya yang penting.. soalnya sekarang ini memang rentan mikir negatif kak..
Alhamdulillah skrg justru ngerasa byk ibroh dari pandemi ini, emg kita tuh harus pnya life mapping sprti yg dijelaskan mba tara di atas ya mba
Negatif thinking memang bisa membawa penyakit tersendiri. Karena itu Rasulullah sudah menyatakan, sebaiknya selalu berbaik sangka lah terhadap segala sesuatu. Dan memang benar, dengan bersyukur, kita jadi merasa tenang, tidak banyak tuntutan… Wallahu alam…
Whishlist ini penting banget loh sebenarnya, biar kita semangat mengejarnya apalagi di masa seperti sekarang ini memang butuh suntikan semangat
Ya ampun melting aku yakinkan diri bahwa setiasi ini tidak sempurna maka jangan menjadikan diri kita sempurna🤧
Ya ampun lebih dari 3 itu aku alami. Ternyta termasuk stres ya. Harus cepat ambil tindakan.
Kayanya banyak yang ngerasain juga deh.
di masa pandemi, bangun tidur masih dalam keadaan waras disamping keluarga aja udah bersyukur banget, meski cobaan hidup maasyaallah ya..
Ibuku masih parnoan, ga salah karena dekat rumah ada yang kena. Alhamdulillah aku dan keluarga selalu rajin pakai masker dan cuci tangan setelah keluar rumah.. keluar kalo isi kulkas kosong atau ke ATM aja, belum berani ke mall soalnya hiks.. kangen jalan-jalan
Kantorku sampai bikin webinar sama psikolog buat jaga kesehatan mental karyawannya selama WFH. Walau berat tetap harus berpikir positif ya mbak. Tapi ngeluh dikit gpp kali ya hehe.
Alhamdulillah acaranya webinar menyenangkan ya kak. Banyak menggali pandemi sebagai hal positif, bukan yang akan membuat kita jatuh terpuruk. Salut. Memang harus demikian.
Stress di masa pandemi tuh bisa seringkali hinggap karena situasi yang kaya gini ini, harus adaptasi di rumah terus, kerja dirumah, bantu anak belajar dirumah, serasa makin lebih banyak tekanan jadinya
Iya harus selalu hati” tapi juga berfikir positif biar gak terbebani