Pertama kali saya menangkap kata wastra adalah dari majalah femina yang saat itu rutin saya beli. Lebih kurangnya, wastra diartikan sebagai kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri yang mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan. Contohnya adalah batik, tenun, dan songket. Mengingat wilayah negeri kita, Indonesia, terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, tak heran ada banyak sekali wastra khas tiap-tiap daerah di nusantara.
Beberapa kali saya berkesempatan mengunjungi museum-museum yang secara khusus memajang wastra khas Indonesia. Saya juga baru sadar bahwa ada lebih dari satu Museum Batik maupun Museum Tekstil di Indonesia. Berikut museum-museum terkait wastra yang pernah saya datangi.
Museum Tekstil (Palembang)
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya menjalani penugasan di Palembang. Berawal dari ketidaksengajaan ketika angkot yang saya tumpangi mengambil jalan yang berbeda, saya justru menemukan bangunan bergaya kolonial di Jl. Talang Semut. Ternyata itu adalah Museum Tekstil.
Salah satu kenangan lebaran masa kecil yang paling berkesan bagi saya adalah tradisi pergi ke tempat mbah buyut dari pihak mama di Karanganyar, Semarang, tiap H+1. Dulu sih saya diberitahu bahwa kalau di desa, lebaran hari kedua memang lebih meriah. Di mata saya, karena semua berkumpul, memang jadinya terlihat ramai. Biasanya kami berangkat dengan menggunakan minimal dua mobil yang berkonvoi (pernah bahkan menyewa minibus dari Jakarta), karena kakak dan adik mama yang berdomisili di kota lain juga bergabung. Orangtua saya memang tinggal di rumah mbah atau orangtua mama, jadi ke situlah tujuan mudik saudara-saudara mama ketika Idul Fitri tiba.
Perjalanan ke Karanganyar biasanya memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Semasa kakak adik mbah (para pakdhe dan budhe dari mama) masih ada, kami biasanya juga menyempatkan sowan ke rumah beliau satu persatu dalam sehari itu. Kebanyakan memang tinggal di kota yang berdekatan seperti Salatiga dan Klaten. Kesempatan berkumpul setahun sekali ini menjadi ajang silaturahmi, semacam halal bihalal yang ditunggu-tunggu, karena jarang-jarang para anggota keluarga besar Hardjasoetaman bisa bertemu sekaligus dalam jumlah yang cukup banyak. Ada juga arisan keluarga yang rutin digelar per triwulan untuk yang tinggal di Jadebotabek memang, tapi tidak semua tinggal di daerah sana, kan.
Di antara acara yang biasanya wajib ada adalah adat sungkeman, sebagai wujud bakti dan hormat dari generasi yang lebih muda. Nyekar atau ziarah ke makam leluhur juga dilaksanakan secara berombongan, walaupun sepertinya karena jarak yang jauh akhirnya keluarga saya jarang bergabung (alias kadang kesiangan, hehehe). Di rumah mbah buyut, sebelum dan sesudah sungkeman, biasanya kami ngobrol santai ditemani hidangan yang tersaji. Sajian khas inilah yang juga ngangenin: ketupat opor, kue-kue basah seperti wajik, jadah, sengkulun, dan tape ketan.
Sejak saya menikah tahun 2006 saya tak pernah lagi bergabung dengan keluarga besar merayakan lebaran di Karanganyar. Kebetulan memang saya mendapat penempatan pekerjaan di pulau lain, yaitu Belitung kemudian Bangka, tepat setelah menikah. Biasanya saya dan suami tetap mudik, sih, selama empat tahun bertugas di luar Jawa itu. Tapi sempitnya waktu cuti yang harus pula dibagi ke dua keluarga (orangtua di Solo dan mertua di Pati) membuat kondisinya tidak memungkinkan bagi kami untuk ikut serta. Saat kami sudah pindah tugas ke Jakarta pun biasanya hari-H idul fitri kami rayakan di Pati karena sepeninggal ibu mertua, suami merasa perlu membantu usaha keluarga yang ramai menjelang lebaran. Tahun lalu kami nyaris bisa ikut karena sudah berangkat ke Solo dari Pati pada hari-H, tapi batal karena ketersediaan tempat di kendaraan yang mepet.
Tahun ini, 2016 atau 1437 Hijriah, untuk pertama kalinya saya kembali ke rumah mbah buyut di Karanganyar pada lebaran kedua. Ini jadi pengalaman pertama untuk suami dan anak. Lalu lintas hari itu lumayan macet dan banyak jalan ditutup sehingga kedua mobil yang kami pakai kesulitan putar balik dan mencapai tempat tujuan lebih siang. Kesan saya begitu sampai, pangling, tentu. Rumah tersebut memang sudah direnovasi dengan dana patungan bersama, dan laporan perkembangan termasuk foto-foto juga sudah pernah dipresentasikan pada acara arisan keluarga yang saya ikuti. Tapi begitu melihat sendiri…sensasinya berbeda. Yang paling mencolok, lantai tanah berganti ubin keramik. Di sisi lain, kesan klasik dari arsitektur dan aksesoris termasuk perangkat gamelan masih dipertahankan.
Hal berikutnya yang berbeda adalah acara yang diorganisir dengan rapi. Memang sepeninggal para generasi kedua, tradisi sungkeman jarang dilaksanakan lagi. Mungkin agar suasana tambah meriah dan semua berbaur, beberapa saudara mama berinisiatif mengadakan aneka lomba. Bertindak selaku panitia pelaksana adalah generasi saya. Jadi hadirin dibagi menjadi beberapa kelompok (bercampur antara satu keluarga dengan keluarga lain, sebagai contoh saya saja beda kelompok dengan suami), kemudian setiap kelompok berpacu mendapatkan nilai total tertinggi dari beberapa lomba yang diikuti. Tahun lalu ada semacam ‘mencari jejak’, tapi tahun ini ditiadakan. Lomba tahun ini diadakan indoor, paling jauh di halaman saja, meliputi kontes yel-yel, tebak peribahasa lewat peragaan, lomba tali tersimpul, sampai voli air. Seru, memang!
Saya sendiri tidak bisa terlalu aktif berpartisipasi karena putri kecil saya yang baru berusia 19 bulan lebih tertarik menjelajah melihat hal-hal yang belum pernah ditemuinya. Tentu perlu pengawalan karena ‘medan’-nya bagi saya juga terbilang baru. Kakaknya, 4,5 tahun, cenderung lebih anteng dan menempel pada ayahnya, tapi lama-lama ingin ikut jalan-jalan juga.
Jadilah saat lomba terakhir dimainkan kami hanya menonton sesekali, sisanya lebih banyak dihabiskan untuk mengejar Fahira yang mengejar ayam atau menyuapi Fathia. Lomba volinya sendiri sebetulnya asyik, jadi yang digunakan sebagai ‘bola’ adalah kantong plastik berisi air, dan untuk melemparnya para anggota tim harus bersama-sama menggunakan sarung yang dibentangkan. Banyak plastik yang pecah saat dilempar dan akhirnya menyemburkan air ke para peserta. Pada praktiknya banyak hal yang belum diantisipasi panitia seperti batasan bola ‘keluar’ dan kapan skor diperoleh, tapi justru hal inilah yang menambah keseruan. Nah, di akhir acara sambil membagikan hadiah dan cendera mata bagi yang sudah berpartisipasi, diumumkanlah nama-nama anggota panitia tahun berikutnya. Tongkat estafet jatuh ke adik saya, rupanya. PR nih buat bikin acara yang sama mengasyikkannya, kalau perlu lebih seru lagi sekaligus tetap bersahabat untuk semua usia :).
Video dokumentasi ini dikirim oleh mama di Solo yang memperolehnya dari grup keluarga besar, dan terus terang agak tersendat masuk ke ponsel saya. Gadget yang saya pegang memang baru bisa menggunakan jaringan 3G, padahal kalau pakai 4G bisa lebih cepat. Hari gini, harusnya #4GinAja kan ya?
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Lebaran Seru