dan Daftar Oleh-oleh Artis Terus Bertambah Panjang….

Selama beberapa minggu, postingan saya tentang oleh-oleh khas daerah yang dalam penjualannya memasang nama artis menjadi postingan paling banyak dikunjungi di blog ini. Kalau mau baca, sila klik di sini ya….

Memang daftarnya terus bertambah panjang, nampaknya bisnis ini dianggap punya peluang cerah hingga artis lain pun tertarik. Sebetulnya sih artis berbisnis kuliner bukan hal baru ya, ada yang bikin rumah makan, ada yang berjualan makanan daerah seperti rendang, ada juga yang memang terjun ke bisnis kue/cake. Tapi konsep penggabungan kue/cake/sejenisnya yang cenderung ringan dan biasanya malah bukan asli atau khas suatu daerah tetapi disambung dengan nama daerah, lalu di-branding dengan nama artis, bisa dibilang baru beberapa tahun belakangan ini marak. Dan lebih jauh lagi, tahun ini banyak sekali merk baru dengan konsep serupa. Termasuk konsep marketing-nya yang banyak memanfaatkan media sosial, lebih khusus lagi instagram. Bahkan yang belum nampak jelas bentuk kuenya seperti apa sudah dipromosikan dengan gencar lewat postingan menggoda  jauh-jauh hari.

Saya sendiri baru kesampaian mencicipi Surabaya Snow Cake, Medan Napoleon, Jogja Scrummy, Carrot Cake, dan Princess Cake. Ingin coba yang lain, tapi belum ada kesempatan, hehehe.

Nah, berikut ini daftar sementara-nya:

1. Malang Strudel – Teuku Wisnu.
2. Jogja Scrummy – Dude Harlino
3. Medan Napoleon – Irwansyah
4. Surabaya Snow Cake – Zaskia Sungkar
5. Makassar Bosang – Ricky Harun
6. Makassar Baklave – Irfan Hakim
7. Bandung Makuta – Laudya Chyntia Bella
8. Bogor Rain Cake – Shireen Sungkar
9. Cirebon Sultana – Indra Bekti & Aldilla Jelita
10. Pontianak Lamington – Glen Alinskie
11. Cirebon Cinnamon – Dimas Seto & Dhini Aminarti

Continue reading

Kontroversi Buku Aku Berani Tidur Sendiri

Pekan lalu beberapa grup whatsapp yang saya ikuti, khususnya yang beranggotakan para ibu, diramaikan dengan kabar adanya buku anak yang kontennya tidak pantas karena justru seperti mengajarkan anak untuk bermain-main dengan kelaminnya, atau masturbasi. Sekilas lihat, sampul buku tersebut familiar bagi saya, dan memang ternyata dari penerbit dan penulis yang tidak asing: Tiga Ananda (imprint penerbit Tiga Serangkai, Solo, yang dulunya kebih saya kenal sebagai penerbit buku pelajaran, apalagi saya memang lahir dan besar di kota dekat Solo sehingga banyak memakai buku terbitannya) dan mba Fita Chakra (nama aslinya adalah mba Fitria Chakrawati, tulisan saya dan mba Fita pernah dimuat dalam satu buku yang sama yaitu Long Distance Love).

Penerbit sebesar Tiga Ananda, penulis sekaliber mba Fita, mestinya sudah mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan sebuah buku layak terbit. Memangnya sseperti apa sih, isinya? Jujur, saya juga punya buku Aku Berani Tidur Sendiri di rumah, tapi masih terbungkus rapi dan tersimpan di tumpukan buku yang harus saya saring dulu sebelum diberikan ke anak-anak. Dan karena keterbatasan waktu, saya belum sempat membukanya. Begitu membaca tulisan dalam foto yang viral beredar, saya mengerutkan dahi. Memang cenderung vulgar, ya. Tapi kalau sampai menduga-duga motif negatif mba Fita menulis ini, saya tak berani. Sedih saya membaca hujatan orang-orang di media sosial yang menghujat penerbit dan penulis yang dianggap sengaja agar anak meniru jalan cerita dalam buku, bahkan lebih jauh lagi punya misi menghancurkan generasi muda. Beberapa di antaranya dirangkum dalam berita BBC ini http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39038005. Ada teman-teman penulis yang juga membuat postingan tanggapan dengan sudut pandang masing-masing.

Continue reading

Tentang Karin “awkarin” Novilda, Line, dan Liverpool.

Repost tulisan dari https://inineracauan.wordpress.com/ yang bagus menurut saya, walau telat bacanya tapi sukses bikin saya jadi ikut merenung, belajar, sedih…. Saya menggarisbawahi yang ini:

Para youtuber atau selebgram yang berani posting segala macem adalah orang yang (harusnya) berprinsip, tau batasnya sharing dan show off, tau kapan harus stop, dan tau gimana caranya tutup mata dan tutup mulut. Ketika kamu jadi sosok yang dilihat semua orang, everyone judges, because you let them to. Dan dalam kasus awkarin ini, aneh rasanya ketika dia playing victim, sedangkan dia sendiri yang mempertontonkan kehidupannya ke semua orang. Dan ketika dia mulai dapat keuntungan dari situ, dia ga lebih dari sekadar pekerja. Don’t play victim, honey, because you pull the trigger – we all just stand by here and watch.


Bukan untuk membenarkan bullying, ya. Hanya saja, memang jadi pengingat buat diri sendiri juga, harus lebih hati-hati dengan tingkah laku, terutama di era gencarnya media sosial sekarang (karena terus terang belum bisa benar-benar tidak menggunakan, toh masih banyak manfaatnya).

Oh, dan tentu saja yang jadi pusat perhatian saya juga adalah soal bagaimana Karin memberi pengaruh :(. Tulisan guru bahasa Inggris di bagian bawah (di versi viralnya jarang diikutkan) menjadi contoh nyata….

Bahwa adalah tugas ortu untuk membentengi anak-anaknya (karena ada yang komen “jangan salahin yang kasih pengaruh, dong!”), ya iyalah memang. Justru karena adanya kepedulian dan biar bisa jadi bekal untuk membentengi makanya tulisan seperti ini banyak di-share, biar bisa digali kan penyebabnya, diprediksi arahnya, dicari penangkalnya (mungkin selama ini belum mengenalkan anak ke idola yang lebih baik dengan anggapan yang kayak gitu juga bakal nemu dengan sendirinya), ortu bisa menyesuaikan pendekatan dan milih kata-kata yang lebih tepat dst. Bukan dengan maksud melimpahkan seluruh kesalahan ke ‘benda’ bernama media sosial, kok.

Tulisan lain terkait hal ini ada di Femina http://www.femina.co.id/trending-topic/fenomena-karin-awkarin-novilda-dan-generasi-swag-inilah-7-alasan-kenapa-para-orang-tua-harus-cemas-.

Yang ini sudut pandang lain dari mami Ubii yang menyatakan pernah segaul Karin dulu, kemudian mengupas apa yang mungkin menjadi akar masalahnya, plus surat terbuka yang semoga dibaca oleh Karin ya http://www.gracemelia.com/2016/07/catatan-untuk-para-orangtua-dulu-saya-pernah-menjadi-karin-novilda.html.