Setelah melahirkan anak pertama, saya mendapatkan menstruasi tak lama setelah nifas selesai. Sempat sebulan lebih sedikit tidak haid, kemudian setelah itu sudah mens rutin. Awalnya saya bingung karena yang pada saat itu dibaca di grup dukungan menyusui di fb adalah banyakkk member yang bertanya kenapa nggak mens-mens juga setelah lahiran. Tapi di kolom jawaban oleh adminnya dijelaskan kalau itu wajar aja, karena bisa beda di setiap orang. Isapan bayi, pola menyusui, kondisi tubuh dan hormon kan lain-lain.
Di kehamilan pertama saya mengalami keguguran saat usia kandungan 9 pekan. Seingat saya waktu itu siklus haid saya tidak makan waktu lama sudah kembali normal. Nah, sehabis melahirkan anak kedua, saya mens pertama setelah bayi berumur 6 bulan. Kebetulan pas bulan Ramadhan mens pertama ini, padahal sudah senang tadinya kirain bisa puasa full kayak pas hamil, hehehe, ternyata harus bolong.
Kakak dan dedek sama-sama full ASI (dedek baru 18 bulan sih, semoga bisa sampai 2 tahun :)) dan saya sampai sekarang tidak menggunakan KB hormonal maupun yang dipasang di tubuh saya. Analisis sementara penyebabnya mungkin karena kakak dikenalkan pakai dot sejak awal (dilatih dari sebelum masuk kantor kembali), sedangkan dedeknya memang sengaja nggak dipakaikan dot sama sekali. Pola menyusui/mengosongkan payudara khususnya yang secara langsung ke payudara ibu kan bisa mempengaruhi hormon yang menghambat ovulasi, sedangkan kebiasaan memakai dot berpotensi menurunkan daya isap bayi atau kadang disebut dengan bingung puting laten. Tapi banyak juga sih working mom yang bayinya pakai dot lantas baru mens setelah bayinya disapih (sekitar 2 tahun), tanpa KB hormonal tentunya (kalau pakai, jadwal menstruasi bisa jadi berbeda memang ya), termasuk beberapa teman kantor.
Mengenai tidak menstruasi semasa menyusui ini biasanya dibilang bisa juga menjadi salah satu metode KB alami, atau lebih tepatnya Metode Amenore Laktasi. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi, ya. Berikut dikutip dari ibudanbalita:
Menyusui dapat menunda datangnya haid. Tidak datangnya haid atau dalam istilah medis disebut sebagai amenore, menyusui setelah proses persalinan, menurut badan kesehatan dunia (WHO) menjadi metode efektif keluarga berencana. Metode ini disebut dengan metode amenore laktasi atau lactational amenorrhea method (LAM). Salah satu penelitian menunjukkan efektivitas metode ini mencapai sekitar 98%, sama efektifnya dengan penggunaan pil kontrasepsi dan metode lainnya.
Dengan menyusui, akan memengaruhi keluarnya hormon-hormon yang diperlukan proses ovulasi atau keluarnya sel telur yang matang dan siap dibuahi dari indung telur Ibu. Daya isap bayi saat menyusui memegang peran penting dalam menekan ovulasi. Sehingga semakin lama Ibu menyusui, maka semakin kecil ibu mengalami ovulasi.
Saat bayi menyusu, maka merangsang saraf sensorik dan menimbulkan mekanisme cukup kompleks yang mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon ini berguna untuk menstimulasi produksi ASI. Pada saat yang bersamaan, prolaktin akan mempengaruhi proses ovulasi dengan menundanya kembali normal. Kadar prolaktin akan meningkat selama menyusui dan biasanya memuncak 30-45 menit dari saat Ibu mulai menyusui. Kadar ini akan menurun ke kadar normal 2 jam kemudian. Semakin pendek jarak antar waktu menyusui, maka prolaktin yang dihasilkan akan semakin banyak. Semakin banyak ASI yang dikeluarkan, semakin kecil kemungkinan proses ovulasi berlangsung, sehingga terjadi KB alami.
Berdasarkan penelitian ilmiah, metode LAM ini harus memenuhi ketiga parameter atau kriteria di bawah ini, yang juga dapat digunakan untuk memprediksi tahap subur ibu.
1. Kembalinya siklus haid. Sejak Ibu melahirkan belum mendapat haid. (keluarnya darah setelah melahirkan dan flek atau spotting atau keluarnya bercak darah dari vagina selama 56 hari tidak termasuk dalam kategori haid)
2. Pola menyusui. Ibu menyusui sekehendak si Kecil, baik siang dan malam hari serta tidak memberikan makanan lain bagi si Kecil.
3. Si Kecil berusia kurang dari 6 bulan.
Jika Ibu menggunakan LAM dengan 3 metode tersebut secara keseluruhan dengan sebaik-baiknya, maka peluang Ibu untuk hamil kembali dalam 6 bulan setelah melahirkan sekira < 2%. Beberapa pakar merekomendasikan tidak memberikan dot kepada si Kecil, karena kemungkinan akan mengganggu keinginan si Kecil untuk mengisap saat disusui. Setelah si Kecil berusia lebih dari 6 bulan dan mulai mengenal makanan tambahan, sehingga tidak semata-mata mendapat ASI, metode LAM ini kurang efektif dan Ibu perlu menggunakan metode kontrasepsi lain. Demikian pula bagi Ibu yang sudah saatnya kembali bekerja dan harus ‘berpisah’ dengan si Kecil karena aktivitas kerja ibu, maka Ibu perlu menggunakan metode kontrasepsi lain. Konsultasikan dengan dokter atau bidan untuk pilihan kontrasepsi yang terbaik.
Artikel lain dari Okezone:
Hormon reproduksi wanita terdiri dari LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) di mana keduanya berperan saat menstruasi terjadi. Ketika wanita dalam masa menyusui, kelenjar hipofise merespon agar memroduksi hormon prolaktin – berfungsi untuk memroduksi air susu – lebih banyak. Sebaliknya, hormon LH dan FSH tidak diproduksi. Nah, hormon prolaktin ini cukup efektif untuk menghambat ovulasi. Itulah sebabnya, wanita yang menyusui secara penuh (full breastfeeding) tidak mendapatkan periode menstruasi atau haid (amenore). Kaitannya dengan kehamilan? Artinya, saat menyusui, tubuh ibu tidak bisa menghasilkan sel telur matang. Jadi, meski sel sperma berhasil masuk, sel telur yang ada tidak siap untuk dibuahi sehingga kehamilan tidak terjadi.
Dalam istilah medis, kontrasepsi sementara yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif tersebut dinamakan Metoda Amenorea Laktasi (MAL) atau Lactational Amenorrhea Method (LAM). Metoda ini memiliki efektivitas atau angka keberhasilan sebesar 98 persen pada 6 bulan pascapersalinan. Walau begitu, agar MAL berjalan efektif, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi antara lain: menyusui secara penuh (full breastfeeding) dan sering, belum mengalami haid setelah persalinan dan umur bayi kurang dari 6 bulan. Bila syarat di atas terpenuhi, kemungkinan terjadinya ‘kebobolan’ sangat rendah yaitu 1 – 2 persen saja.
Syarat-syarat khusus seperti belum haid ini yang kadang ‘melenakan’. Sebab, bisa juga kesuburan sudah kembali dan sebelum seorang ibu sempat haid sel telurnya sudah keburu dibuahi. Meski kemungkinannya dikatakan kecil, tapi ada saja yang menceritakan ke saya terkait hal tersebut.
Oh ya, kadang ada juga yang mengkhawatirkan bahwa selama tidak haid itu, darah haid yang seharusnya dikeluarkan saat menstruasi itu jadi ‘menumpuk’ di dalam tubuh. Benarkah? Sementara, penjelasan yang bisa saya temukan sebagai berikut (dari Intisari):
Anda yang pernah belajar ilmu hayat tentu mengenal istilah darah bersih dan darah kotor. Keduanya ada pada semua orang! Istilah darah bersih dipakai untuk darah yang mengalir di pembuluh arteri yang mengandung banyak oksigen dan zat nutrisi bagi tubuh. Sementara, darah yang mengalir di pembuluh vena disebut darah kotor karena mengandung lebih sedikit oksigen dan mengandung pelbagai zat buangan dari sel-sel tubuh, terutama CO2. Darah yang mengandung lebih banyak CO2 itu akan dialirkan ke paru-paru untuk “dibersihkan”. Setelah “bersih” alias kembali mengandung lebih banyak oksigen, darah dibawa ke jantung yang akan memompakannya ke seluruh tubuh.
Pemahaman yang salah tentang haid juga semakin memperparah kesalahkaprahan. Ada pengertian di masyarakat bahwa haid adalah upaya tubuh untuk mengeluarkan “darah kotor” dari tubuh. Seorang wanita yang menggunakan kontrasepsi suntikan, umumnya merasa khawatir kalau tidak haid, “darah kotor” akan menumpuk di tubuh dan menimbulkan penyakit.
Yang benar, darah haid bukanlah “darah kotor” yang harus dibuang. Warnanya yang lebih gelap, kadang ditambah dengan adanya gumpalan, adalah karena darah itu bercampur dengan jaringan permukaaa dalam rahim yang luruh secara berkala setiap bulan. Ini justru merupakan proses alami yang menandakan bahwa sistem hormon wanita itu berfungsi baik.
Bila Anda menggunakan kontrasepsi suntikan atau susuk, haid memang tidak akan muncul tiap bulan karena sistem hormon Anda berada di bawah pengaruh kontrasepsi yang sengaja diberikan untuk menekan kesuburan. Peluruhan jaringan rahim memang tidak terjadi sehingga tidak ada darah haid. Sebaliknya, bila Anda tidak menggunakan kontrasepsi tetapi haid pun tidak muncul Anda perlu berkonsultasi dengan dokter.