Tema besar World Breastfeeding Week alias Pekan ASI Dunia tahun lalu adalah “Breastfeeding and Work, Let’s Make It Work!“. Kenapa sampai ditekankan soal ibu bekerja? Karena menyusui dengan status sebagai ibu bekerja, lebih khususnya bekerja di luar rumah, punya tantangan khasnya sendiri. Dari soal mengatur waktu memerah (harus rutin, kan, kalau tidak produksi ASI terancam dihambat karena payudara dibiarkan penuh terlalu lama), mencari tempat memerah yang nyaman (tidak semua kantor menyediakan tempat khusus pumping, belum lagi kalau ada tugas lapangan), pandangan heran teman sekerja (ada teman di dunia maya yang katanya dijuluki tukang es karena bawaan cooler bag dkk-nya), bawaan sehari-hari yang nambah (minimal banget botol ASIP dan es pendingin, kalau memerah dengan tangan), melatih anak (sebetulnya lebih ke melatih pengasuhnya, biasanya :D) minum ASIP dengan media yang tepat, sampai ini nih…gimana kalau mendadak jadi harus meninggalkan bayi beberapa hari untuk urusan pekerjaan?
Ketika masih menyusui anak pertama, saya cukup ‘aman’ dari kemungkinan dinas ke luar kota karena kebetulan saya saat itu ditempatkan di bagian pelayanan terdepan yang jarang kebagian tugas dinas (kalau kerepotan mengatur jadwal pumping di ruangan yang disediakan kantor sih iya, hehehe…takut aja diprotes kok loketnya suka kosong, padahal sudah ada aturan pelindungnya ya). Alhamdulillah sih, karena kalau membaca beberapa cerita ibu-ibu yang mendapat penugasan ke luar kota bahkan luar negeri, atau malah bekerja di pulau yang berbeda dengan bayinya, atau pekerjaannya mengharuskan jarang menetap di satu tempat, rasanya perlu perjuangan banget. Walaupun sebetulnya kalau mau dibawa santai barangkali bisa dijalani dengan lebih tenang ya, tapi tetap saja penuh tantangan, kan.
Saya pun melihat sendiri betapa teman yang bertugas di Bangka (dulu kami sekantor) ketika harus mengikuti diklat ke Bogor dan Jakarta sampai repot-repot mencari tahu apakah mungkin ada anggota grup dukungan menyusui yang kami ikuti yang bisa dititipi ASI perah, jaga-jaga kalau di tempatnya diklat tidak tersedia freezer — salah satunya diakhiri dengan ia menempuh perjalanan bolak-balik hotel-rumah saya untuk menitipkan ASIP karena freezer hotel tidak berhasil membekukan ASIP-nya. Menjelang dan setelah Fathia lulus ASI 2 tahun, barulah saya mulai diperintahkan ikut bimtek, workshop, course dan sejenisnya yang semuanya tetap berlokasi di Jakarta. Saat itu saya sudah mulai jarang pumping.
Situasi menjadi berbeda pada masa menyusui anak kedua. Fahira baru saja lulus ASI eksklusif 6 bulan ketika ada kabar saya harus berangkat ke Yogyakarta untuk kegiatan training. Dua bulan sebelumnya, saya sudah ‘berhasil’ mengalihkan tugas lain ke kota yang sama karena merasa Fahira masih terlalu kecil untuk ditinggal, jadi teman sebelah saya yang berangkat. Kali itu, karena berbagai pertimbangan, saya tetap berangkat. Fahira dititipkan di rumah ibu saya, di kota yang memerlukan perjalanan sekitar dua jam naik kereta dari Yogyakarta. Selama ini ia terbiasa minum ASI perah dengan cangkir atau sendok, sehingga kekhawatiran nursing strike gara-gara ditinggal ibunya agak lama (biasanya berisiko terjadi jika ASIP diberikan dengan media dot) bisa diminimalisir.
Jika sebelum-sebelumnya saya ‘hanya’ membawa ASIP pascacuti pulang kampung (bersalin atau mudik) dengan sarana kereta api, kali itu tentu kami harus mempersiapkan diri untuk membawa stok ASIP ke dalam pesawat terbang. Walaupun sudah sering membaca tentang bolehnya membawa ASIP di kabin pesawat, saya tetap browsing lagi untuk memastikan, khususnya untuk maskapai yang akan saya gunakan. Saya menemukan blog ini yang cukup menenangkan, tapi hasil pencarian saya juga mengarahkan ke tanya jawab di twitter yang agak membingungkan. Untuk amannya saya tanya lagi melalui twitter resmi maskapai tersebut…dan hasilnya agak muter-muter menurut saya, hehehe. Mungkin karena sempat dijawab oleh dua petugas berbeda ya, jadi maksud hati ngetwit untuk menegaskan kesimpulan eh malah balik lagi ke jawaban awal yang menggantung.
Oh ya, peraturannya sendiri seperti saya kutip dari Ayahbunda adalah sebagai berikut: Peraturan Dirjen Perhubungan Udara nomor SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel (Liquid, Aerosol, Gel) yang dibawa penumpang ke dalam kabin pesawat udara pada penerbangan internasional, tersebut dalam pasal 3 ayat 2 bahwa obat-obatan medis, makanan/minuman/susu bayi dan makanan/minuman penumpang untuk program diet khusus tidak usah diperlakukan seperti membawa cairan, aerosol dan gel (harus dimasukkan ke satu kantong plastik transparan ukuran 30 cm x 40 cm dengan kapasitas cairan maksimum 1.000 ml atau 1 satu liter dan disegel).
Singkat kata, saya cukup pede membawa sekian botol ASI perah beku dalam satu cooler box dan dua cooler bag ke kabin. Bisa dibilang pengamanan saya tidak terlalu maksimal, tidak ada tulisan khusus yang menyatakan bahwa ini isinya cairan, fragile, atau sejenisnya. Alhamdulillah tidak ada pertanyaan apa-apa selama di bandara keberangkatan maupun tujuan. Kenapa banyak banget yang dibawa? Yah, jaga-jaga aja sih, daripada kurang, kan? Meskipun sudah mulai makan, namanya belum umur setahun kan ASI masih jadi sumber pemenuhan gizi utama bayi. Alhamdulillah ASIP selamat sampai ke freezer rumah orangtua, dan saya melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.
Acara hari pertama yang diadakan di kantor perwakilan Yogyakarta cukup padat sehingga peserta baru check-in di hotel menjelang tengah malam. Salah satu hal pertama yang saya lakukan adalah memeriksa keberadaan dan kondisi lemari es. Wah, dikunci. Bukan pertama kalinya sih saya mendapati kulkas dikunci di kamar hotel, tapi berhubung sekarang keberadaannya amat diperlukan, saya langsung menelepon ke petugas hotel. Saya memang tidak sampai menelepon hotel sejak sebelum berangkat seperti yang saya baca dilakukan oleh beberapa ibu menyusui yang bersiap tugas dinas, karena hotelnya cukup punya nama sehingga saya pikir pastilah fasilitasnya lengkap. Jawaban petugas hotelnya, saya bisa membayar deposit ke resepsionis agar kunci kulkas dibuka. Deposit tersebut nanti bisa diambil kembali saat check out. Jumlah depositnya lumayan, bisa buat beli tiket kereta eksekutif Jogja-Jakarta pada musim ramai😀, tapi alhamdulillah lah pokoknya masih ada uang segitu. Apalagi ternyata di dalam kulkas mini itu sudah ada freezer mungilnya pula, jadi saya bisa membekukan ice gel untuk dibawa sepanjang kegiatan pada siang harinya.
Di tempat training sebetulnya tersedia ruang laktasi. Jadi selama acara dilaksanakan di hari kerja, saya bisa nebeng memerah di situ. Ada kulkas kecil, tapi saya tidak berani memakainya😀. Sayangnya di luar jam kerja dan hari libur ruangan itu dikunci, jadi ya saya mencari tempat lain yang cukup nyaman. Tiga hari berlalu dan tibalah saat kami kembali ke Jakarta. Alhamdulillah perjalanan lancar, lagi-lagi tidak ada yang menanyakan soal bawaan kami, dan ASIP beku yang tidak terpakai maupun ASIP hasil perahan saya selama bertugas masih dalam kondisi baik sesampainya kami di rumah. Ada yang mencair sedikit, tapi sesuai referensi yang saya baca, selama masih ada bagian bekunya maka masih boleh dibekukan kembali.
Tahun 2016 saya kembali tugas ke luar kota, kali ini ke Bandung. Tidak se-rempong pengalaman sebelumnya, tapi sempat deg-degan juga ketika ternyata kulkas di kamar hotel tidak dingin. Begitu menerima laporan saya, pihak hotel merespon cepat dengan mengganti kulkas tersebut dengan yang berfungsi baik. Pakai minta maaf pula karena kulkas pengganti agak besar dan tidak muat masuk ke lemari kayu sehingga harus ditaruh di lantai, padahal saya malah bersyukur karena kulkas yang ini ada freezer mungilnya😀. Syukurlah, tugas dinas kedua ini juga berjalan lancar hingga saya berhasil membawa oleh-oleh satu tas berisi ASI perah untuk Fahira.
(Repost dengan penyesuaian dan perbaikan untuk mengikuti Giveaway ASI dan Segala Cerita Tentangnya — klik gambar di bawah untuk info lomba)
wahaaa… oleh2nya keren ini. Fahira pasti senang banget dapat oleh2 begini. Mamanya sampai bela2in melakukan banyak hal untuk bisa mempersembahkan oleh2 spesial. Hihi..
Alhamdulillah, Mba Ira :).