Belajar Sejarah (Lagi) lewat Film Toedjoeh Kata

Sabtu lalu saya mengikuti acara di kopdar (walaupun sebenarnya belum ikut komunitasnya) komunitas Indonesia Tanpa JIL (ITJ)-Jakarta sekaligus nobar film Toedjoeh Kata di Rabbani Rawamangun. Alhamdulillah, karena pada kesempatan nobar film yang sama sebelumnya (kalau tidak salah diselenggarakan oleh komunitas yang berbeda) saya sedang ada kegiatan lain. Film doku-drama tersebut mengangkat kisah Ki Bagus Hadikusumo yang mengalami dilema pelik menjelang pengesahan konstitusi negeri kita tercinta ini. Ya, film ini menyoroti terhapusnya tujuh kata dari naskah Piagam Jakarta.

Sebelum nonton bareng dimulai, panitia menghadirkan produser film Toedjoeh Kata, Aanisah Pangrutiningtias dan sang sutradara Bayu Seto untuk menceritakan latar belakang, tujuan, dan suka duka pembuatan film tersebut. Film Toedjoeh Kata berawal dari partisipasi dalam ajang apresiasi seni LSBO PP Muhammadiyah bulan Mei tahun ini. Nisa, Bayu, dan kawan-kawan mereka sesama pegiat komunitas Muhammadiyah Multimedia Kine Klub Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sepakat ingin mengangkat cerita Ki Bagoes Hadikoesoemo yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1944-1953) dan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2015. Kerja keras mereka membuahkan gelar juara 2 pada ajang tersebut.

Nisa menuturkan bahwa kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan film adalah urusan riset yang tidak selalu mudah. Referensi mereka gali dari keluarga Ki Bagus Hadikusumo maupun arsip negara. Selain itu, kesibukan kuliah juga membuat Nisa dan kawan-kawan harus pandai-pandai mengatur waktu demi tuntasnya proyek film. Sementara, Bayu selaku sutradara merasakan beban terberatnya adalah bagaimana keluarga tokoh yang digambarkan melihat hasil filmnya, apakah berkenan atau tidak. Alhamdulillah keluarga Ki Bagus Hadikusumo menyatakan dukungan terhadap apa yang digambarkan oleh Bayu dan kawan-kawan.

Sebagaimana disampaikan oleh Nisa dan Bayu, topik penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta tersebut mereka angkat bukan untuk tujuan memecah-belah. Justru mereka ingin lebih banyak yang tahu dan paham mengenai sejarah bangsa ini, termasuk peran aktif umat Islam dalam meraih dan mempertahankannya.

Film Toedjoeh Kata sendiri mencoba mereka ulang adegan ketika para tokoh seperti tuan Hatta mendatangi Ki Bagus untuk meminta persetujuan agar tujuh kata  (…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam Piagam Jakarta/Pancasila dihapus. Alasannya adalah toleransi, khawatir pemeluk agama lain tersinggung. Ki Bagus berpendapat bahwa toh kalimat itu tidaklah mengikat umat lain. Namun, setelah shalat istikharah dan dibujuk oleh Kasman Singadimedja, Ki Bagus akhirnya menganggukkan kepala dan kemudian membubuhkan tanda tangan sebagai wakil dari umat Islam.

Pada pidatonya dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus tetap menekankan bahwa jika agama memang dianggap suci sedangkan politik itu kotor, seperti dikatakan oleh beberapa tokoh perjuangan, kenapa negara ini tidak didirikan berdasarkan sesuatu yang suci saja? Adapun keputusan itu hingga lama setelahnya masih menyisakan penyesalan dan menerbitkan air mata Ki Bagus maupun Kasman. Wawancara dengan Dr. Gunawan Budianto (cucu Ki Bagus) dan penjelasan dari Dr. Tiar Anwar Bachtiar (sejarawan INSISTS dan pembina komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) di sela-sela fragmen film ikut melengkapi untaian cerita.

Usai pemutaran film yang dari segi durasi cukup singkat tapi dari sisi makna begitu dalam, panitia mengundang Rizki Lesus, co-founder komunitas JIB untuk berbagi pandangan dan ilmu. Penulis buku Jejak Islam yang Dilupakan ini kemudian menguraikan sejumlah peran umat Islam, termasuk para pemuka agama, dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Terakhir, ustadz Akmal Sjafril yang juga koordinator pusat ITJ melengkapi diskusi dengan ‘kuliah’ singkatnya (memang dosen sih ya, hehehe). Beliau menilai bahwa film Toedjoeh Kata ini menarik, sebab hal yang diangkat adalah sesuatu yang mungkin belum banyak orang tahu. Sebab, kemerdekaan negara ini tidak lepas dari perjuangan umat Islam juga. Salah satu hal yang harus diperhatikan, sebut ustadz Akmal, tantangan tiap zaman tidaklah sama. Memahami sejarah jangan hanya pada masa hidup kita, lihat Indonesia sejak dulu. Dan banyak hal yang terjadi pada masa sekarang sesungguhnya dapat ditarik benang merahnya dari masa lampau. Jadi, jangan putus hubungan dengan sejarah.

Ustadz Akmal pun mengingatkan bahwa umat Islam harus punya ghirah. Meski sering dimaknai sebagai semangat (kata yang lebih tepat untuk semangat adalah hamasah), tetapi kata ghirah lebih tepat diartikan sebagai cemburu, merasa haknya diambil orang dan tidak tenang sebelum hak kita kembali. Apa yang membuat kita cemburu? Pertama cinta, yang kedua adalah harga diri. Referensi yang bagus bisa disimak dalam buku Buya Hamka yang berjudul Ghirah.

Jangan lupa pula, ungkap ustadz Akmal, hati adalah penggerak paling kuat. Jika pun memilih balik badan terhadap situasi yang tidak sesuai dengan pandangan kita selaku umat muslim, hati yang kuat pada akhirnya akan akan menemukan hati-hati lain yang merasakan hal yang sama.

Jadi, apa kontribusi kita? Siapkah kita ikut menjadi pelaku sejarah yang baik?

 

#ODOPOKT1

 

Ceritanya mau mulai ikutan One Day One Post dari komunitas Blogger Muslimah, nih. Semoga bisa konsisten :).

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.

7 thoughts on “Belajar Sejarah (Lagi) lewat Film Toedjoeh Kata

  1. Pingback: Blogger Muslimah, Antara Hamasah dan Iffah | Leila's Blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s