Mamapreneur. Kata ini merupakan gabungan dari kata mama dan entrepreneur, atau jika disimpulkan memiliki arti perempuan yang sudah menikah dan memiliki usaha. Ketika publikasi #TUMNgopiCantik dengan tema Social Media for Mamapreneurs tayang di The Urban Mama, saya sempat maju mundur hendak ikut. Merasa diri tidak punya ‘jualan’ :D. Tapi sayang juga jika melewatkan kesempatan belajar dari ahlinya. Ya, yang didaulat untuk menjadi narasumber adalah pak Nukman Luthfie yang sudah kondang sebagai pakar internet marketing. Mantaplah saya mengisi formulir pendaftaran. Siapa tahu pemaparan beliau jadi memicu semangat saya untuk membuka usaha. Atau barangkali ada ilmu yang bisa saya terapkan dalam mengelola media sosial pribadi maupun kantor (yang sudah didukung oleh tim keren di level pusatnya pusat sih, tapi siapa tahu saya bisa dapat sudut pandang lain).
Pada hari penyelenggaraan #TUMNgopiCantik di fx Sudirman tanggal 16 September lalu, pak Nukman menyampaikan materinya dengan gaya santai, tetapi tetap mengena. Sesekali para mama yang menjadi peserta jadi terbahak karena lelucon yang beliau lontarkan, diselingi senyum malu-malu karena merasa tertohok. Maklum, sejumlah kebiasaan dalam bermedsos yang kurang pas juga ikut dikupas.
Menurut pak Nukman, penting sekali bagi para pengusaha untuk menguasai tiga hal yang disingkat dengan 3C dalam memanfaatkan media sosial. “Kalaupun kita tidak master (dalam 3C), minimal kita mengerti supaya kita bisa membentuk tim atau merekrut manajer medsos,” tegasnya.
Tiga hal ini meliputi Community, Content, dan Conversation atau sebetulnya lebih tepat disebut dengan Engagement. “Tapi biar pas gitu, 3C, makanya jadi Conversation,” jelas pak Nukman sambil bercanda.
Dari segi Community, kita perlu mengingat, tujuan kita seperti apa? “Saat membuat bisnis, pertanyaannya bukan kita jual apa, tapi siapa target market kita?” urai pak Nukman. Target ini harus spesifik, bukan sekadar untuk perempuan misalnya, melainkan diuraikan lagi seperti perempuan umur berapa dan tinggal di mana. Makin spesifik target kita, maka bidikan kita juga bisa makin tajam dan diharapkan tepat sasaran. Bagi startup khususnya, yang penting adalah growth. Dalam mengakuisisi customers harus sangat cepat dan sebanyak mungkin, tetapi tetap fokus.
Pak Nukman mengingatkan bahwa dalam memanfaatkan media sosial, pengusaha harus fokus pada target audiens supaya ‘buang duitnya terarah’. Kalau targetnya terlalu umum, kemungkinan hasilnya adalah fans yang banyak, tapi action-nya sedikit. Jangan sampai juga target sudah jelas, tetapi dalam beraksi ternyata mereka tidak sesuai dengan harapan kita.
“Kemampuan mendefinisikan target audiens ini perlu diasah dengan baik,” tambah pak Nukman. Kalau sudah dapat target audiensnya, langkah berikutnya adalah memetakan, mereka ada di medsos apa dan bagaimana perilakunya.
Untuk tujuan pemetaan ini pak Nukman menampilkan grafik yang menyajikan perbedaan perilaku berbelanja dan penggunaan media sosial antara kelompok usia yang berbeda. Generasi Y atau milenial misalnya, rupanya paling banyak menghabiskan uang untuk makan di restoran. Tak heran, Instagram dipenuhi dengan foto makanan. Bisa disimpulkan, prospek usaha di bidang kuliner cukup cerah. Bahkan sekarang pusat perbelanjaan atau mall yang sukses adalah yang mengambil konsep hybrid, tempat belanja sekaligus tempat makan. Mall yang mengandalkan retail saja mulai sepi, kecuali yang bersegera berproses mengubah diri.
Mengingat generasi milenial begitu aktif menggunakan media sosial, maka mereka juga banyak menghabiskan uang untuk gadget, khususnya hp berkamera, lebih spesifik lagi yang kameranya bagus untuk selfie. Bagi anak muda, ponsel adalah tempat untuk melakukan hal-hal yang sifatnya riang gembira, termasuk untuk menikmati hiburan. Adapun komputer dan laptop biasanya dipakai untuk hal-hal terkait pekerjaan.
Jika generasi Y dan millennials doyan posting di instagram, generasi X biasanya cenderung memilih facebook. “Lihat saja, di facebook banyak postingan reunian, apalagi ada fitur yang memudahkan orang mengingat masa lalu,” ujar pak Nukman. Generasi y tetap punya akun facebook, tetapi aktivitasnya lebih banyak di instagram. Dulu Snapchat juga populer di kalangan generasi y, tapi dengan penambahan fitur insta stories, instagram menjadi makin terdepan.
Menurut pak Nukman, gunakan facebook fanpage jika ingin berjualan di facebook. Jangan pakai akun pribadi, atau kalau pakai istilah beliau, “Jangan perlakukan teman sebagai pasar.” Larangan pemakaian akun pribadi untuk berjualan ini sebetulnya juga sudah tercantum dalam peraturan penggunaan facebook.
Untuk Content, usahakan mengunggah tulisan atau gambar/foto yang memang orisinal karya kita dan punya nilai plus shareable. “Amati trending topic saat itu,” pak Nukman memberi tips. Apa yang menjadi trending topic bisa kita eksplor untuk materi konten medsos kita.
Format konten yang paling disukai biasanya berupa infografis atau list. Berdasarkan survei, konten berupa gambar atau foto memperoleh 53% like lebih tinggi dan 104% lebih banyak komentar. Banyak pengguna medsos yang postingan original-nya belum tentu seminggu sekali, tapi suka share konten dari pengguna lain yang sesuai dengan minat mereka. Kalau postingan kita dibagikan oleh orang banyak, artinya daya jangkau akun kita makin luas. Selanjutnya kemungkinan jumlah orang yang menengok profil kita, syukur-syukur tertarik membeli apa yang kita jual, makin besar, kan? Ini menjadi PR bagi para pembuat konten agar kontennya sesuai dengan target audiens. Setiap postingan harus dianalisis, alias jangan asal posting.
Merasa kurang jago copywriting? Bisa memanfaatkan jasa orang lain yang tepercaya. Sambil tetap latihan menulis tentunya, dan ini agak perlu waktu memang. Tone yang casual bisa membuat postingan jualan tidak terkesan jualan banget, bahkan tidak terkesan mengajak beli. Gaya seperti ini biasanya justru lebih menarik perhatian pembaca.
Pak Nukman juga berbagi rahasia mengelola postingan di medsos dari segi pengaturan waktu ataupun komposisi, termasuk jumlah karakter yang optimal untuk tiap medsos. Tapiii, bagian yang ini katanya jangan di-share, hehehe. Aturan ini tidak wajib ditaati sih, apalagi kalau sudah level master, silakan saja dilanggar alias bisa posting sesukanya. Hanya saja, efek dari aturan ini akan positif jika diikuti, khususnya bagi pemula.
Adapun Conversation berkaitan dengan how you engage. Yang kita harapkan tentunya adalah percakapan yang memberikan nilai, menimbulkan counteraction. Conversation berkaitan erat dengan hal-hal berikut ini:
–Response. Kalau belum ada interaksi dengan target audiens, coba buat kuis atau lemparkan pertanyaan. Sebisa mungkin, kita cepat mendapatkan respon. Kalau dalam sejam belum ada reply, konten tersebut bisa disebut gagal (meskipun tidak selalu). Puncak penyebaran konten adalah satu jam tersebut, viralnya sebuah konten pun biasanya terjadi dalam jangka waktu sejam.
–Coverage, cakupan audiens kita bisa bertambah jika konten kita yang menarik itu di-repost, share, regram, retweet, dst.
–Action. Dampak yang kita harapkan misalnya berupa pembelian produk yang kita pasarkan, atau bisa juga pendaftaran untuk mengikuti seminar yang kita adakan.
Ketika sesi tanya jawab dibuka, para mama peserta acara antusias mengacungkan tangan. Ada yang bertanya tentang endorsement, contoh nyata penerapan media sosial tertentu dengan karakter produk yang khas, sampai dengan mana yang lebih baik antara ikuti tren atau ikuti passion dalam membuka usaha.
Menanggapi pertanyaan seorang peserta yang usahanya bergerak di bidang ekspedisi besar, mengingat target audiensnya adalah perusahaan/kantor atau bisnis lain, bukan perorangan, pak Nukman menimpali, “B2B kuncinya di direct communication. Instagram bisa dipakai untuk display, tunjukkan bentuk truk seperti apa, dipakai oleh siapa, pasang foto customers yang puas. Secara langsung nggak jualan, tapi membangun kepercayaan.”
Kemudian, daripada beli followers, mending endorse. Followers sedikit memang kadang bikin kita khawatir calon pembeli kurang percaya. Akhirnya, kita tergoda untuk membeli followers. Endorsement akan menolong agar calon pembeli lebih yakin akan kejujuran kita. Endorsement dari artis hasilnya tidak se-powerful selebgram (yang dilahirkan oleh medsos), karena follower artis biasanya penggemar dari offline, jarang juga mereka mau aktif menanggapi pertanyaan. Di sini pak Nukman spontan meminta para peserta, khususnya yang punya banyak follower untuk meng-endorse bisnis peserta lain :D. Teh Ninit Yunita, co-founder The Urban Mama misalnya, diminta menampilkan foto sedang memakai baju produksi brand salah satu penanya, disertai testimoni positif.
Bisnis akan lebih menarik dan enak dijalani jika kita memang punya passion di bidang tersebut. Bukan berarti mulai berbisnis dengan mengikuti tren itu tidak baik, sih. Pak Nukman mencontohkan putrinya sendiri yang menekuni passion-nya dalam hal fashion. Sebagai orangtua, ternyata pak Nukman dan istri sempat ragu juga dengan keinginan sang putri sekolah desain. Namun waktu dan kerja keras membuktikan putri beliau bisa berhasil di bidang yang menjadi passion-nya.
Salah satu peserta yaitu Mama Yulia Astuti, founder Salon Muslimah Moz5 yang telah memiliki banyak cabang, ikut berbagi pengalaman. Menurutnya, engagement terbukti sangat penting. Ketika ada yang meninggalkan komentar negatif di media sosial terkait pelayanan salon, ternyata justru para pelanggan setia yang pasang badan dengan membela dan mengungkapkan testimoni positif.
Oh ya, para peserta dalam acara ini juga membawa pulang oleh-oleh produk perawatan rambut dari mama Yulia, lho. Rangkaian produk Moayu yang juga merupakan bisnis dari mama Yulia ini terbuat dari bahan-bahan alami yang berkhasiat merawat rambut maupun kulit kita.
#ODOPOKT3
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.
Seruu yaa…
Kegiatan para mama produktif.
Seneng bangeet laah…dapet hadiah sekaligus ilmu bermanfaat.
Semoga segera bisa diaplikasikan…((toel diri sendiri))
Iyaaa, Mba, banyak ilmu dan tips yang bermanfaat di acara ini. Walaupun saya belum punya jualan produk, tapi bisa dipakai buat mengelola medsos untuk optimalisasi blog juga :).