Bersenang-senang di Paris dengan Generasi Z

You look so proud standing there with a frown and a cigarette

Posting pictures of yourself on the Internet

Lagu “Paris” dari The Chainsmokers pertama kali saya dengar diputar di sebuah radio pada suatu hari libur. Satu-dua kalimat di dalam syairnya, setelah dicermati, sedikit mengingatkan saya pada lagu “Sahabat Sejati” dari Sheila on 7. Coba simak larik lagu tersebut berikut ini:

“Kita s’lalu berpendapat kita ini yang terhebat

Kesombongan di masa muda yang indah”.

Saya bukan pengagum rokok dan perilaku merokok, tapi yang disampaikan oleh The Chainsmokers sebagaimana saya kutip di awal tulisan tadi mewakili apa yang acapkali digunakan oleh generasi kekinian dalam mengekspresikan diri: ambil foto selfie saat sedang melakukan sesuatu yang menyimbolkan ‘perlawanan’ atau lagi berpose nan nyeleneh, lalu unggah ke media sosial.

Apa hubungannya dengan lagu Sheila on 7? Sepenangkapan saya, sih, keduanya sama-sama menyuarakan kebanggaan sebagai kaum muda, masa-masa ketika tindakan yang diambil sering tanpa pertimbangan panjang. Kadang tidak pasti ke mana arah tujuan, tapi tetap saja dilakukan. Sebagian atas nama persahabatan, yang lain berlandaskan cinta, baik kepada seseorang atau kepada idealisme tertentu. Banyak bersenang-senang, biarpun esok hari belum tahu akan seperti apa jadinya.

I thought, “Wow, if I could take this in a shot right now
I don’t think that we could work this out
.””

See? Anak-anak remaja ini sejatinya pandai (“They’ll say you could do anything, they’ll say that I was clever”), tapi tingkah lakunya di mata generasi yang sudah lebih dewasa bisa jadi kelewat gegabah. Terlalu nekat mengambil risiko. Pokoknya jalan aja dulu, deh. ‘Sombong’ dengan memandang remeh potensi gagal yang mengintai.

Dalam sebuah acara lokakarya terkait pekerjaan tahun kemarin, salah satu penyaji materi memperingatkan agar berhati-hati karena sebentar lagi generasi Z akan ‘menyerbu’ kantor. Kenapa harus berhati-hati? Ya, karena mereka – yang mendapat label tersebut karena lahir pada periode tahun 1995-2010 (sumber lain menyebutkan 1998 atau 2001 sebagai tahun penanda awal) – punya karakter khas cenderung tidak sabaran, ingin serba-instan, serba-spontan, dan kurang terampil berkomunikasi verbal (termasuk terkesan tidak menghormati atasan). Tentunya ada juga kelebihan mereka seperti jago multitasking dan mudah mengikuti perkembangan teknologi.

Walaupun sepertinya ceroboh dalam bertindak, tetapi keberanian generasi Z mengambil risiko dapat menjadi sumber kekuatan. Dalam berbisnis misalnya, ada kan yang bilang bahwa dalam memulai usaha itu memang harus punya modal nekat, karena kalau kebanyakan pertimbangan bakal nggak maju-maju?

Di sisi lain, kenekatan tidaklah selalu berhasil. Mungkin di sini generasi Z diuntungkan dengan kondisi orangtua mereka yang umumnya lebih berpikiran terbuka ketimbang mayoritas generasi sebelumnya. Ekspos di media massa terhadap beragamnya pekerjaan atau mata pencaharian yang bisa dipilih juga cukup tinggi, sehingga alternatif profesi non-mainstream makin dikenal, kendati belum tentu juga orangtua merestui sepenuhnya jika anaknya memilih lapangan usaha utama yang tidak umum.

Setidaknya, orangtua yang lebih toleran bisa jadi akan bersedia memberikan atau mencarikan pinjaman lunak untuk bantuan modal awal, memperbolehkan anaknya menekuni kesibukan yang pada zaman mereka tidak lazim, atau menyediakan dukungan berupa saran dan masukan dari pengalaman. Malah setahu saya ada juga orangtua yang justru aktif mendorong anaknya berbisnis sejak dini karena beranggapan hal tersebut akan memberi anaknya banyak pelajaran hidup dan lebih menghargai kerja keras. Dorongan positif seperti ini menjadi pelengkap bagi ‘tindakan nekat’ mereka. Bahkan kalaupun ditentang, tentangan semacam itu bagi anak muda akan lebih terdengar sebagai tantangan. Dan kalau sudah begini, bisa-bisa berbalik jadi tantangan bagi orangtua, deh, untuk menaklukkan anaknya yang berkemauan keras 🙂 (*lirik anak-anak yang masih mungil).

Akrabnya generasi Z dengan teknologi informasi juga bisa menjadi pelecut semangat mereka untuk tampil lebih baik. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai pentingnya punya tampilan yang memukau di dunia maya. Ada yang mengandalkan fasilitas orangtua, nebeng teman, atau cara-cara yang tidak terpuji, memang, demi latar selfie yang mengundang decak kagum. Namun, ada pula yang secara sehat mencapai impiannya. Kalau di Instagram-nya ada foto jalan-jalan ke Paris (The Chainsmokers sendiri menyebut Paris sebagai “a sentimental yearning for a reality that isn’t genuine), itu pakai uang hasil jerih payah sendiri. Jika ada keterangan lokasi hotel mewah di posting-an Facebook-nya, itu karena ia diundang jadi speaker untuk menyemangati sesama anak muda.

If we go down then we go down together
We’ll get away with everything
Let’s show them we are better

Ya, biarpun kesannya individualis, salah satunya akibat lebih suka menatap layar ketimbang orang ‘sungguhan’, generasi Z bisa jadi sangat solider dengan temannya. Kepeduliannya tinggi. Mungkin ada yang bersaing, tapi yang ingin teman atau generasinya sama-sama maju juga banyak. Entah murni ingin menolong ataupun didorong oleh keinginan untuk menunjukkan bahwa usia belia bukan alasan untuk diremehkan, mereka siap bersuara “Let’s show them we are better”. Kemudian bersama-sama mewujudkannya jadi nyata.

Atau bisa saja saya sama sekali salah. Bagaimanapun saya hanya seorang anggota generasi Y yang kadang sok tahu.

 

Tulisan ini terinspirasi oleh lagu “Paris” (The Chainsmokers), dibuat untuk mengikuti tantangan Corat-coret di Website Edisi Maret dengan tema inspirasi lagu, dan sudah dimuat di web Semesta Literasi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s