Selamat Jalan Prof. Sapardi

Pagi ini saya membaca kabar berpulangnya Prof. Sapardi Djoko Damono. Sastrawan senior Indonesia ini mengembuskan napas terakhir pada usia 80 tahun di sebuah rumah sakit di BSD sekitar pukul 9 lebih. Saya jadi teringat terakhir kali “bertemu” beliau (walaupun saya cuma nonton) ternyata sudah cukup lama juga, yaitu pada bulan September 2018. Tepatnya dalam kegiatan Festival Literasi Kementerian Keuangan, di mana beliau menjadi salah satu pembicara utama.

Dalam acara tersebut, Prof. Sapardi banyak berbagi seputar literasi dan tips menulis. Menurut Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1994-1999 ini, literasi adalah usaha kita semua untuk meningkatkan kemampuan membaca. “Kita bisa baca, tapi tingkatannya beda-beda. Kalau sudah membaca, kita akan bisa bedakan puisi iklan, pidato politik, hoaks, dan lain-lain. Membaca dan literasi itu bukan hanya sebatas buku sastra, kok. Apalagi sekarang sudah ada e-book, audio book, makin mudah membaca apa saja di mana saja,” ungkapnya.

Bagi lelaki kelahiran 20 Maret 1940 ini, membaca merupakan salah satu cara untuk menghindari kebosanan. “Ada dunia nyata, ada dunia angan-angan. Dengan membaca, Anda akan sampai ke sebuah dunia yang tidak ada, itu diperlukan. Kesenian seperti tulisan menolong agar kita tidak bosan.”

Manfaat lain, sastra umumnya bisa memperhalus budi, meskipun itu juga tergantung pembacanya. Kini, sastra yang untuk main-main pun ada. Yang berisi kemarahan juga ada, seperti Prof. Sapardi akui pernah beliau tulis juga.

Namun, Eyang Sapardi, begitu sebagian orang menyebut beliau, tetap paling dikenal sebagai penulis sajak dan cerpen yang romantis. “Sampai banyak yang menaruh (puisi saya) di undangan. Yang membuat saya romantis itu adalah (pandangan) pembaca. Kata-kata yang saya pakai biasa saja, mungkin kemampuan merangkainya yang membuatnya menarik,” ungkap beliau.

Salah satu puisi beliau yang paling terkenal adalah puisi “Aku Ingin”, yang dulu saya kenal pertama kali dari buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Saya juga menyukai trilogi novela Hujan Bulan Juni – Pingkan Melipat Jarak – Yang Fana adalah Waktu, yang penyajiannya menurut saya unik. Satu hal yang saya cermati adalah ketaatan beliau pada ejaan. Secara konsisten beliau memakai kata “zadul” sebagai akronim dari “zaman dulu” yang biasanya disebut orang “jadul”.

Apakah karya-karya indah beliau banyak terinspirasi dari pengalaman pribadi? “Semua yang sudah ditulis itu adalah fiksi. Kalau harus dilatari pengalaman pribadi, saya putus cinta ribuan kali, dong. Kita baca koran, ngobrol sama orang, itu masuk ke data kita, bisa keluar jadi karya,” jelas beliau sambil menyisipkan tips mendapatkan ide untuk menulis.

“Menulis itu tidak usah menunggu wahyu atau ilham. Menulislah di mana saja dan kapan saja. Harus ke pantai atau tepi sungai dulu baru menulis, itu kuno. Bergaul dengan lebih banyak orang, baca lebih banyak buku, lihat lebih banyak film, maka kepala kita akan penuh dan pada waktunya nanti bisa kita tuangkan.”

Ketika ada yang menanyakan bagaimana caranya belajar membuat tulisan yang baik, Prof. Sapardi yang sampai menjelang penghujung usia masih aktif mengajar di UI dan IKJ ini menganjurkan latihan terus-menerus.

“Saya belajar bicara karena meniru orangtua saya, diulang-ulang sehingga bisa. Demikian pula menulis, menulis terus sampai terlatih, dari situ belajarnya.” Akan tetapi, adakalanya memang kebosanan menyapa. Prof. Sapardi menyiasatinya lewat cara baru penulisan. “Saya selalu bereksperimen, kalau tidak nanti saya eneg.”

Dalam hal penerbitan buku, tulisan yang baik juga bisa lahir dari kerja sama yang baik antara penulis dengan editor. Prof. Sapardi sempat menyampaikan apresiasi untuk editornya, Mirna Yuliastuti, yang juga hadir di Aula Mezzanine saat itu. Di dalam dunia penerbitan, katanya, editor itu sama pentingnya dengan penulis.

“Editor yang benar itu seperti mbak Mirna, tidak cuma betulkan titik koma, tetapi juga menyampaikan sudut pandang pembaca, rajin mengingatkan penulis.”

Omong-omong soal penerbitan buku, karya Eyang Sapardi juga tidak berhenti dalam media tulis. Tahun 2017,  buku Hujan Bulan Juni diangkat ke layar lebar. Saya termasuk yang beropini biasa-biasa saja dengan penggambaran kedua tokoh utama, Pingkan dan Sarwono, di situ. Akting Velove Vexia dan Adipati Dolken di situ jelek tidak, wow banget juga tidak, menurut saya. Hanya saja, saya memang agak tidak setuju dengan beberapa penyesuaian cerita dalam versi filmnya. Toh, Prof. Sapardi punya pendapat sendiri terkait alih media ini.

“Novelis harus legawa kalau (karyanya) dialihwahanakan. Kalau jadi komik ya ikuti pakemnya. Kalau jadi film, ya harus ikut pakem orang bikin film, di situ ada yang ambil gambar, menata cahaya, dan lain-lain. 75% film di Amerika sekarang dibuat dari novel/cerpen/puisi. Ada novel yang jadi komik, jadi game. Memang itu yang harus terjadi. Itu yang membuat kebudayaan berkembang,” tegas beliau.

Pada bagian penutupan acara, Prof. Sapardi menjawab pertanyaan yang disampaikan seorang hadirin. Di antara karya-karya beliau, buku yang mana yang menjadi favorit? “Buku yang paling saya sukai adalah yang belum saya tulis. Karena kalau ada yang saya sukai, ya nanti saya berhenti nulis.”

Dan kini tibalah saat beliau benar-benar berhenti menulis. Selamat jalan, Prof. Sapardi.

17 thoughts on “Selamat Jalan Prof. Sapardi

  1. Pingback: Rekomendasi Menyiasati Lima Fase Pernikahan dari Ustadz Cahyadi Takariawan | Cerita-Cerita Leila

  2. Pak Sapardi lumayan banyak menginfluence hidupku. Aku suka puisi-puisinya yang indah dan sarat makna, apalagi ketika dinyanyikan (musikalisasi puisi) oleh duo idolaku AriReda. Meskipun saat ini salah satu personilnya telah berpulang, dan Pak Sapardi telah berpulang, namun sajak-sajaknya akan tetap hidup di hatiku.

  3. Sedih banget pas tahu kabar Eyang Sapardi meninggal. Dulu juga pernah datang ke talkshow salah satu bukunya. Selain aktif menulis, beliau juga sangat ramah dengan wartawan. Beberapa kali janji temu saya dibalas walaupun hanya melewati pesan SMS. Selamat jalan eyang…

  4. Sangat menginspirasi sekali ❤
    Kalau pernah ketemu eyang pasti aku bahagia dan beruntung banget. Selamat jalan eyang karyamu akan selalu di kenang.

  5. Innalilahi wainna ilaihi rajiuun
    Saya juga kaget ketika buka medsos, beranda ramai oleh postingan tentang beliau yg sudah tiada.
    Terimakasih ulasannya. Nambah wawasan saya
    Salam
    Okti Li

  6. Akutu jadi ingat status sepupu aku. Sejak dahulu di whatsapp nya tertulis “yang fana adalah waktu, kita badi” ternyata quotes dari prof Sapardi ya

  7. Kaget pas buka medsos lihat kabar Eyang Sapardi tutup usia. Selamat jalan eyang, semoga amal ibadah diterima dan tenang di sana. Aamiin

  8. Sedih banget denger beritanya, Indonesia kehilangan satu maestro sastra legendaris, karya-karayanya selalu berhasil merebut hati saya sih

  9. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. semoga almarhum eyang Sapardi diampuni segala dosanya dan diberikan tempat terbaik di sisiNyam benar benar salut dengan konsistensi dalsm berkaryanya, tak peduli berapa Usianya…

  10. Seseorang yang bergelut dan menghasilkan karya di dunia literasi akan selalu dikenang dengan karyanya tersebut. Ini menginspirasi kita untuk selalu membuat karya yang bermanfaat.

  11. Hujan Bulan Juni doang yang aku tau karyanya Beliau ini. Ternyata itu trilogi ya hehe.. aku juga ga setuju sama filmnya karena ga setuju sm aktor dan aktris pemerannya sih jadinya aku ga nonton filmnya hehe

  12. Cuma Hujan Bulan Juni yang aku tau karyanya Beliau ini. Ternyata itu trilogi ya hehe.. aku juga ga setuju sama filmnya karena ga setuju sm aktor dan aktris pemerannya sih jadinya aku ga nonton filmnya

  13. Pingback: Rekomendasi Menyiasati Lima Fase Pernikahan dari Ustadz Cahyadi Takariawan – Honey's Garden

Leave a Reply to Chairina Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s