Awas Terjebak Unrealistic Optimism, Apa Itu?

“Ah, yang penting kita positive thinking aja. Kalau kita ketakutan terus, penyakit malah jadi gampang dekat-dekat.”
Perkataan seperti di atas mungkin sering kita dengar, apalagi akhir-akhir ini. Stres atau kepikiran dalam skala berat disebut-sebut bisa menurunkan imunitas dan meningkatkan kemungkinan tubuh kita diserang penyakit. Saya kutip dari Kompas tahun 2012, stres membuat sistem tubuh berkurang kemampuannya untuk meredam peradangan. Belum lagi, orang yang sedang mengalami stres kadang juga kemudian terjebak pada perilaku yang tidak sehat seperti merokok, minum minuman keras, tidak mau makan, dan tidur tidak teratur.
Maka ketika pandemi Covid-19 ini makin meluas, sering beredar anjuran untuk membatasi paparan terhadap berita negatif agar kita tidak tertekan. Salah satu grup whatsapp ibu-ibu yang saya ikuti sampai membuat batasan jam untuk bahasan Covid-19 agar tidak setiap saat ada cerita tentang penyakit tersebut. Bahkan sempat saya baca ada yang menawarkan semacam terapi berpikir positif untuk mencegah dan menangani Covid-19. Nah, seberapa ampuh sebenarnya pembatasan paparan ini terhadap kadar stres kita?

 
Beberapa waktu lalu saya mengikuti live IG Positive Mind, Negative Covid bersama Hijab Motion yang menghadirkan narasumber Mbak Alfath Hanifa Megawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog atau biasa disapa dengan Mbak Ega. Sudah agak lama memang, tapi rasanya isi obrolan yang dipandu oleh kak Putri ini masih relevan untuk dibagi di sini. Apalagi saya suka sekali dengan penjelasan Mbak Ega saat itu. Bijak dan menenangkan banget, sampai saya tonton ulang.
Terkait berita Covid-19, Mbak Ega menyebutkan bahwa kita memang perlu berita, tetapi banyaknya juga perlu dibatasi. Misalnya, kalau sudah mantengin berita pagi di televisi, tahan untuk mengikuti berita siang juga secara intens. Terlalu banyak berita negatif seperti bertambahnya kasus atau ketidakpedulian sebagian warga memang berpotensi membuat kita merasa lelah dan overwhelmed. Sebisanya, imbangi dengan menonton atau membaca berita-berita yang positif, misalnya kabar pasien yang sembuh atau berita lainnya di luar Covid-19.
Namun, ada juga yang dalam bersikap positif ini agak kebablasan. Misalnya, beranggapan bahwa Covid-19 itu hanya ada di pikiran, bahkan menganggap virusnya tidak ada dan pikiran negatiflah yang membuat orang-orang sakit. Mbak Ega mengingatkan bahwa ini tidak tepat.
“Respon orang terhadap wabah Covid itu bermacam-macam. Beberapa orang accept, menerima kondisi ini, tetapi ada juga yang masih dalam fase denial. Salah satunya berpikir positif all the time sehingga menyangkal hal-hal yang negatif yang memang terjadi saat ini. Ini namanya unrealistic optimism. Maunya yang positif saja, menyangkal berita yang faktanya memang ada. Ini sebenarnya tidak bagus karena bisa mematikan sistem kewaspadaan kita. Menutup 100% informasi tentang Covid juga bisa membuat kita kuper, tidak update, dan bisa menimbulkan rasa cemas yang justru disebabkan oleh ketidaktahuan,” jelas Mbak Ega dengan suaranya yang adem.

“Makanya dalam situasi sekarang, ketika ada yang merasa cemas itu normal, bahkan memang perlu cemas. Tanpa adanya cemas, kita tidak punya bahan bakar untuk melakukan aksi, melakukan intervensi untuk mengantisipasi. Justru dengan menyangkal, kita malah tidak melakukan apa pun untuk membuat keadaan lebih baik. Berpikiran positif boleh, tetapi hati-hati dengan unrealistic optimism, karena akan jadi beban juga untuk hidup kita. Mungkin sebulan pertama fine, tapi kalau ada orang terdekat yang kena maka akan terjadi seperti ledakan gunung berapi, kita seperti tertampar dengan denial selama ini, dan responnya bisa lebih tidak terkontrol,” lanjut psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia ini.

Jadi, Mbak Ega menyarankan untuk jangan menyangkal. Mencari tahu berita faktual, entah itu berita positif maupun negatif itu perlu agar kita juga sadar bahwa kita memang dalam kondisi sulit ini bersama-sama.
Tentang rasa cemas itu sendiri, Mbak Ega yang berpraktik antara lain di Brawijaya Clinic Kemang ini menegaskan bahwa rasa cemas tidak selalu negatif.
“Ia (cemas) ada di diri kita sebagai pengingat atas hal-hal yang patut diwaspadai di sekitar. Kalau merasa cemas, misalnya sebagai tenaga kesehatan takut ketularan dan takut menulari, maka lakukan hal-hal pencegahan sebagaimana mestinya. Misalnya kita masih tinggal dengan orang tua, bisa atur supaya mandi bersih dulu sebelum cium tangan, sampaikan permintaan maaf kepada orang tua atas kebiasaan yang harus berubah selama masa ini.
Berteman dengan rasa cemas, bukan cepat-cepat mengusirnya,” terang perempuan lulusan Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia ini.
Salah satu hal yang bisa membantu menghalau pikiran-pikiran negatif adalah berbincang dengan orang lain. Yang jadi masalah, pembatasan aktivitas membuat kita tidak bisa sering-sering mengobrol langsung dengan teman-teman seperti dulu. Pakai bantuan teknologi pun belum tentu mudah mengatur waktunya. Maka kemudian Mbak Ega mengutip salah satu meme yang sempat beredar yang menyebutkan “Ngomong sama pot sekarang ini normal. Kamu baru perlu cari bantuan ke profesional kalau potnya sudah sampai jawab pertanyaan kamu.”
Ya, jika belum bisa banyak bercerita pada teman, kita bisa menggunakan media lain untuk tetap bisa bercengkrama. Kebosanan dan kesepian tidak bisa dihindari, tetapi bisa kita atasi. Seperti di meme tersebut, mengajak tanaman mengobrol juga bisa. Kita bisa eksplorasi hal-hal baru, siapa tahu hal-hal yang dulu kita anggap “bukan kita banget” setelah dicoba ternyata menyenangkan. Coba-coba resep bisa dilakukan, tapi cari yang gampang dulu supaya tidak tambah frustrasi kalau gagal.
Lalu bagaimana kalau justru kita “terkurung” bersama orang-orang yang berpikiran negatif di rumah? Kata Mbak Ega,  kita kan tidak bisa mengendalikan respon orang lain. Semakin kita ingin mengendalikan orang lain maka akan semakin menekan dan berat rasanya bagi diri kita.
Saat tekanan negatif terjadi di rumah, ya sebisanya kita menghindar saja, cari spot yang bebas dari berita negatif. Tenangkan diri dulu, tarik napas. Kalau orang yang berpikiran dan menyebarkan energi negatif ini masih bisa diajak bicara, coba kita sampaikan baik-baik dengan cara yang tidak menggurui dan tidak menekan.
“Kita harus melepaskan keinginan untuk mengontrol orang lain,” tukas Mbak Ega.
Mbak Ega menutup sesi bincang-bincang dengan mengungkapkan bahwa pada saat pandemi ini kita perlu saling mendukung dengan teman agar positive mind bisa tersebar dan meningkatkan imun tubuh.
“Kita bisa bersatu padu dan insya Allah semua yang terjadi adalah takdir Allah, tugas kita adalah mengusahakan yang terbaik. Untuk hasilnya, kita berserah pada Allah,” pungkasnya.

36 thoughts on “Awas Terjebak Unrealistic Optimism, Apa Itu?

  1. Semakin kita ingin mengendalikan orang lain maka akan semakin menekan dan berat rasanya bagi diri kita.
    Aduh bener bgt..thanks for sharing mbak leila

  2. Berfikir postif memang yang terbaik. Awal-awal covid aku juga takut banget. Banyak pikiran negatif di tambah tontonan yang bikin nambah was-was.
    Kalau sekarang sih lebih di bawa tenang aja.

  3. Sempat di posisi ini nih. Tapi emang bener bgt, faktor dari luar emang ga bisa kita kendalikan dan ini tantangan paling berat sih. Huhu

    Thanks for sharing the information mbak. So useful for me 😊

  4. Jujur waktu ada covid, nih tetangga saya cemasnya berlebihan, tapi syukurnya saya nggak terlalu ambil pusing. Insya Allah, kita selalu bisa berpikir positif dan tetap sehat ya mbak, aamiin..

  5. positive mind/thinking juga terkadang perlu di dampingi sama yang namanya rasional ya, something yang logis. terlalu optimis kadang malah bikin kita bleng sama option solusi yang real, hehe

  6. Pernah baca di Filosofi Teras tentang ini juga mba.
    Di dunia ini memang ada hal hal yang ngga bisa kita kendalikan. Mau dipaksa seperti apapun. Jadi jangan sampai membebani pikiran kita dengan hal2 yang diluar kendali.
    Thanks for sharing mbaaa, jadi inget lagiii soal ini.

  7. aku setuju bgt kak. kitalah yang harus bisa mengontrol diri kita termasuk mengelola kecemasan ya…imun emang berkurang kalau kita stres, makanya berusaha banget gak stres dan banyak zikir juga hehe,makasih sharingnya kak

  8. Berbaik sangka, positif thinking itu memang sudah dianjurkan Rasulullah sejak duluuu….makanya memang benar ya, energi positif yg baik, memang harus kita sebarkan. Selain sebagai amalan, juga dampaknya memang bagus utk kita serta sekitar

  9. Selama pandemi ini saya ga pernah baca atau nonton berita tentang Covid-19, bukan apa-apa saya ga mau pikiran saya jadi terbebani karena nyatanya dampak Covid-19 aja sudah cukup mengkhawatirkan tanpa perlu baca beritanya. Mungkin ini alasan saya untuk melindungi pikiran saya.
    Lagi, betul banget penyakit itu bisa dari pikiran negatif yang kita buat-buat sendiri. Semoga kita selalu sehat ya mba dan bahagia aamiin!

  10. Duh sayang banget gatau ada ig live itu, pdhal banyak bnget info yg blm aku tau loh. Pas baca judul ini jg unrealistic optimism gtau arti sebenarnya apa, makasi banyak ka infonya bermanfaat banget

  11. Ini so related banget ya di musim pandemi ini, how to deal with stress di masa pandemi dan jangan sampe juga kita kejebak unrealistic optimism yang jadinya malah mengabaikan safety yaa

  12. Zaman now mau nyari ilmu gampang yah, ig live banyak banget tema – tema menarik yah. Asalkan mau dan niat belajar

  13. Diawal-awal adanya Covid memang bikin kami sekeluarga cemas berlebihan, saya sendiri yang tinggal sama orangtua yang 60+ dan adik saya semua di luar kota. Makin kesini ya tetap khawatir tapi tidak berlebihan, ikhtiar semampunya menjaga hidup sehat, selebihnya pasrah.
    Tfs ya kak… 🙏

  14. mesti hati-hati deh sekarang banyak orang yang seolah memberikan kalimat positif padahal sedang menggiring opini untuk tetap jalan di tempat. mesti bijak dalam menanggapi sikap seseorang bahkan keluarga sendiri.

  15. Bener nih, Mbaa, aku sendiri membatasi konsumsi berita sejak Covid merebak. Awalnya kuikuti sampai ke akar-akarnya, maksudku supaya tahu. Tapi, nggak baik buat mentalku

  16. Setuju bgt sama penutupnya mba, kita akan dihisab atas usaha kita, perkara hasil itu wewenangnya Allah

  17. Jadi kembali introspeksi bagaimana ya respons aku terhadap corona ini. Menjaga kesehatan pasti selalu dilakukan, buat diri sendiri, keluarga dan orang banyak

  18. Wah, bener banget mbak. Berpikir positif itu perlu banget, apalagi dikondisi pandemi seperti ini. Alhamdulillah keluargaku bukan tipe yang panik berlebihan, jadi dibawa santai aja asal tetap menjaga kesehatan dan tetap taat pada protokol kesehatan dan himbauan pemerintah.

  19. Saya gak cemas berlebihan tapi emang berhati2 hehe.
    Sampai sekarang juga kami sekeluarga masih sama seperti Februari/ Maret lalu gak keluar kalau gak penting banget 😀
    Yg penting selalu optimis, kalau harus beraktivitas ya gak usah takut asalkan patuhi protokol kesehatan hehe

  20. Benar sih ya, kita tidak bisa mengendalikan respon orang lain. Maka repon kitaah yang harus dikelola dengan baik. Kita yang berubah, bukan mengubah orang.

  21. positive thinking selama di rumah aja ini memang agak2 menantang untuk mental ya karna kita hanya di rumah menunggu kapan semua kembali normal, hanya mendapat info tentang kondisi sebenarnya di berita2.. makanya setuju sama Mba Ega yg bilang kalo kita harus menghindari orang2 yg negative thinking, supaya kita tetap bisa berpikir jernih di kondisi ini..

  22. Sejak pandemi datang, memang banyak hal yang sering dikhawatirkan. mulai dari kesehatan, ekonomi, pekerjaan, dsb. Tapi memang positive minds itu harus banget diterapkan, supaya pikiran tetap jernih dan bisa menyelesaikan masalah dengan tepat juga.

  23. Setujuu banget kak, bagaimana pun positif think itu penting bgt. Dlu awal” pandemi saya kalau sakit dikit sering mikir negatif eh ternyata emg flu biasa aja tapi efeknya bisa bikin down luae biasa. Terimakasih informasinya mba

  24. Pingback: Tips Mempersiapkan Anak Menghadapi Tes Swab untuk Covid-19 | Cerita-Cerita Leila

  25. Pingback: Jujur Tentang Status Positif Covid-19, Sejauh Apa? | Cerita-Cerita Leila

  26. Pingback: Writober 5: Atasi Potensi Badai Rumah Tangga Efek Pandemi, Pahami Kebutuhan Pasangan | Cerita-Cerita Leila

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s