Jujur Tentang Status Positif Covid-19, Sejauh Apa?

Tiga pekan ini merupakan masa yang tak terlupakan bagi kami. Jika sebelumnya hanya memantau berita-berita tentang orang yang positif Covid-19, akhirnya kami mengalaminya sendiri meskipun alhamdulillah gejalanya sangat ringan. Saat ini, meski hasil swab PCR terakhir sebagian dari anggota keluarga kami masih positif, kami semua sudah dinyatakan boleh beraktivitas kembali oleh petugas dari Puskesmas yang selama ini ditugaskan untuk memantau. Tentu kami juga masih berhati-hati, tak ingin mengambil risiko menularkan kepada orang lain. Bepergian untuk urusan yang bukan darurat rasanya tidak masuk dalam agenda kami dalam waktu dekat.

Bicara tentang orang lain, begitu hasil positif kami terima, yang pertama kali saya pikirkan adalah: saya harus memberi tahu siapa saja? Haruskah “semua orang” tahu? Bagi saya, ini bukan soal malu atau tidak, tetapi banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Ya, pertama-tama memang ada perasaan “Wah, aku seteledor itu ya sampai bisa tertular”, dan mengakui kelengahan itu memang kadang bikin malu. Namun, saking banyaknya yang harus dikerjakan, perasaan malu tadi malah hampir-hampir terlupakan.

Kalau sempat menganggur lalu pikiran sudah mulai melayang-layang, saya berusaha menyibukkan diri, dengan mengunjungi blog teman-teman, misalnya. Sedang ada “tren” Liebster Award ternyata, ya. Penghargaan antarblogger ini mengingatkan saya pada tren serupa ketika masih ngeblog di Multiply dulu.

pengumuman

Kembali ke topik, berdasarkan pengalaman kami, berikut ini hal-hal yang menjadi pertimbangan untuk memutuskan siapa saja yang perlu mengetahui kabar bahwa kami positif Covid-19.

1. Pihak kantor

Dalam kasus kami, karena memang pemeriksaan dilakukan oleh kantor, atasan-atasan kami sudah mengetahui terlebih dahulu mengenai hasilnya yang kemudian dikabarkan kepada kami. Jika ada yang melakukan pemeriksaan secara mandiri, sudah seharusnya pula ada laporan ke kantor. Di kantor tempat kami bekerja sudah ada alur pelaporan yang jelas. Meskipun mungkin tidak semua pegawai hafal, tetapi informasi cara dan jenjang pelaporannya tersedia untuk bisa diakses secara bebas.

Laporan ke kantor juga bisa menjadi bahan untuk penelusuran kasus. Siapa tahu, jadi ada rekan-rekan kita yang harus diperiksa juga karena memenuhi kriteria kontak erat. Perlukah semua teman kita tahu atau cukup yang diduga kontak erat saja yang tahu untuk kemudian diperiksa lebih lanjut? Kembali ke pilihan atau kebijakan masing-masing kantor. Atasan saya sih mengingatkan bahwa teman-teman, apalagi yang sempat bekerja seruangan dengan saya (meskipun cukup jarang karena saya lebih banyak bekerja dari rumah) berhak untuk tahu agar mereka juga bisa memutuskan langkah selanjutnya.

Baca juga: Positive Thinking Selama Pandemi

Selain untuk keperluan pelacakan, informasi bahwa kita positif Covid-19 dapat membuat pihak kantor memantau kita dengan lebih baik. Tanpa harus berstatus positif pun, setiap harinya kami harus melaporkan melalui aplikasi apakah terdapat riwayat perjalanan ke area transmisi, riwayat bepergian ke fasilitas kesehatan, dan  riwayat kontak erat. Juga apakah mengalami keluhan seperti sakit kepala, batuk, diare, atau demam.

Jika pihak kantor tahu, kemungkinan, beban pekerjaan pun bisa disesuaikan dengan adanya status positif ini. Apalagi jika ada gejala yang parah. Bahkan kendati tidak ada gejala dan “hanya” isolasi mandiri di rumah seperti kami, tetapi ada “pekerjaan” tambahan yang jadi perlu diurus setiap harinya seperti pelaporan kondisi secara berkala ke otoritas terkait (dalam kasus kami, Puskesmas dan RT/RW), penyesuaian tugas sekolah anak-anak, hingga urusan cucian yang butuh perhatian dan energi ekstra dengan disinfektan. Semoga ini bisa menjadi bahan pertimbangan juga bagi pemilik perusahaan yang pegawai atau keluarga pegawainya terinfeksi Covid-19.

2. Keluarga

Barangkali ada yang memilih untuk tidak mengabarkan masalah kesehatan yang dihadapi kepada keluarga, dengan pertimbangan agar tidak merepotkan dan membuat kepikiran. Namun, ada juga yang justru merasa memerlukan doa dari keluarga, khususnya orang tua, agar bisa melewati ujian ini dengan baik. Atau sebaliknya, agar keluarga tidak terlalu kaget seandainya nanti ada perkembangan ke arah memburuk yang jadi harus dikabarkan mendadak. Kami sendiri memutuskan untuk mengabari orang tua dan saudara-saudara kandung di kampung halaman secara bertahap.

Secara khusus beberapa orang kerabat meminta agar kami jangan meneruskan kabar ini lebih jauh ke lingkup keluarga besar/trah. Bukan apa-apa, sebagian kerabat sudah berusia lanjut dan kami pun paham sekali, khawatir beliau-beliau malah jadi terpengaruh kesehatannya gara-gara berita ini.

Bagi yang tinggal serumah atau sangat berdekatan dengan keluarga besar, jujur tentang hasil tes sepertinya sudah menjadi keniscayaan. Dengan demikian, anggota keluarga besar juga bisa mempersiapkan diri untuk kemungkinan ikut dites karena ada kontak erat. Hanya saja, teman saya bercerita bahwa pasiennya malah dimarahi oleh keluarga besar karena berinisiatif tes mandiri yang ternyata positif. Bikin repot karena yang lain jadi harus diperiksa juga, katanya.

Baca juga: Persiapan tes Swab pada Anak

3. Pengurus/perangkat lingkungan setempat

Melaporkan status kepada pengurus RT setempat tentunya harus, ya. Dengan adanya laporan kasus, maka pelaporan untuk tingkat yang lebih tinggi juga bisa lebih sinkron. Langkah-langkah pencegahan pun bisa lebih digalakkan. Saat itu, tak lama setelah kami melapor, portal gang kembali ditutup. Petugas pun sempat datang untuk menyemprot area halaman rumah kami dari luar. Kerumunan warga yang asyik mengobrol jadi jarang terlihat lagi.

Adanya informasi yang jelas kepada pengurus lingkungan setempat juga akan membuka akses bantuan kepada yang membutuhkan, jika ada. Alhamdulillah, kami jadi mendapatkan kiriman sayur matang, lauk, dan buah setiap harinya selama dua pekan isolasi mandiri. Padahal kami terhitung warga baru. Sedihnya, ada juga teman yang menceritakan ketidakpedulian pengurus lingkungan sekitar rumahnya. Ada pula teman yang kaget bukan main karena tetangga sebelah rumahnya tiba-tiba dijemput petugas rumah sakit dalam keadaan kesehatan yang menurun, dan ia menyesali kenapa baru tahu sehingga luput menawarkan pertolongan yang mungkin diperlukan.

Dengan sendirinya, status kami pun menyebar di antara masyarakat sekitar. Alhamdulillah tidak ada perlakuan tidak menyenangkan yang kami terima, kecuali satu-dua ungkapan spontan tetangga. Yah, di grup-grup whatsapp pun sering ada yang curhat soal kecemasan atau ketidaknyamanannya ketika tahu tetangganya positif, kan? Mengingat penyakit ini masih baru, sebagian orang mungkin juga masih kebingungan dalam menyikapinya, termasuk dalam memilah komentar yang dilontarkan.

4. Sekolah anak

Belajar dari rumah saja sudah menantang, bagaimana pula menjalankannya dengan kondisi tidak boleh dekat-dekat? Apalagi, anak-anak juga belum kami beri gawai khusus. Ada ponsel lama saya yang biasa mereka gunakan untuk kelas daring, tetapi karena sering mati sendiri maka penggunaannya juga harus dengan pendampingan. Maka, saya mengajukan dispensasi ke sekolah mereka, dan alhamdulillah sekolah mereka juga memaklumi.

Baca juga: Mendampingi Anak Belajar di Rumah

5. Komunitas

Nah, kalau ini sepertinya tergantung preferensi pribadi. Saya sempat berpikir, kok jadi seperti “merusak suasana” atau menakut-nakuti ya, ketika sebagian teman sudah dengan gembira menceritakan rencana liburan (dengan menaati protokol), lalu saya mendadak muncul mengemukakan status positif saya. Karenanya, saya lebih sering memilih untuk menahan diri.

Baca juga: Beraktivitas di Era New Normal

Di sisi lain, cerita saya ternyata bisa menguatkan beberapa teman yang sempat bercerita sudah agak kendor dalam menjaga jarak dan menerapkan PHBS. Meminjam istilah seorang teman, kadang Covid-19 itu masih terasa berjarak dengan kita, sampai pada saatnya ada orang terdekat yang kena. Semoga sih, tidak sampai membuat waswas bagi yang masih harus bekerja atau punya keperluan penting lain di luar rumah, ya.

Saya pun akhirnya berkabar kepada beberapa komunitas, khususnya komunitas di mana saya menjadi pengurus, penanggung jawab proyek, atau peserta program yang ada tenggat waktunya. Pertimbangannya seperti sudah saya ungkapkan di atas, meski secara fisik relatif sehat, ada beberapa pekerjaan tambahan yang harus saya selesaikan setiap harinya. Artinya, saya mungkin tidak bisa menjalankan peran di komunitas (walaupun memang tidak banyak juga).

Kadang saya juga menjawab apa adanya ketika ada yang melontarkan topik terkait Covid-19 di grup yang saya ikuti. Semoga bisa meningkatkan kepedulian lebih banyak orang, bahwa walaupun sejumlah aturan sudah dilonggarkan dengan berbagai pertimbangan, bukan berarti kita sudah bisa berlaku sesuka hati. Panik jangan, waspada harus. Alhamdulillah, justru dukungan dan perhatian dari teman-teman terus mengalir hingga saat ini, mulai dari doa, kalimat-kalimat penyemangat, hingga berupa kiriman dan hantaran.

Mungkin ada juga yang memilih untuk diam-diam saja dengan tujuan agar tidak menarik perhatian. Salah satunya dari para penjual suplemen kesehatan. Bukan bermaksud memutus pertemanan, menutup pintu rezeki orang, atau menutup pintu terhadap kemungkinan jalan kesembuhan ketika akhirnya saya memilih mendiamkan beberapa pesan dari kenalan yang dengan gigih terus menawarkan produk yang ia jual, meski sudah ditolak secara halus. Lelah soalnya jika harus beradu argumen, padahal klaim yang ditenteng pun sudah meragukan. Beda halnya dengan teman-teman yang sekadar mengirimkan informasi produk yang direkomendasikan, atau meskipun jualan tapi stop menawarkan saat kami sudah menyatakan belum bisa membelinya dulu karena kiriman suplemen dari keluarga dan teman pun sudah cukup banyak.

Begitulah, banyak sekali yang perlu dipikirkan sebelum seseorang memutuskan untuk terbuka akan statusnya atau tidak. Selain yang sudah saya sebutkan di atas, pasti masih ada pihak-pihak lain lagi yang berhak tahu maupun tidak perlu tahu tentang status positif Covid-19 seseorang. Mungkin ada perusahaan yang mempertimbangkan faktor reputasi sehingga tidak mengizinkan karyawan mengumumkan statusnya, barangkali juga ada selebriti yang terikat kontrak dengan produk kesehatan sehingga dikhawatirkan citra produk tersebut terpengaruh. Jika bingung dalam memutuskan, diskusi dengan orang terdekat atau petugas medis bisa membantu.

Gambar: Pixabay

Artikel ini diikutsertakan dalam minggu tema komunitas Indonesian Content Creator

17 thoughts on “Jujur Tentang Status Positif Covid-19, Sejauh Apa?

  1. saya membayangkan pasti sulit,bingung, takut dan resah ya kak. saudara saya juga mengalami hal yang sama. so i feel you. semoga segera sehat total ya teh untuk keluarga semua.

  2. Iya, mbak mau gk mau di masa pandemi ini kita perlu peka dan gesit untuk beradaptasi. Apalagi untuk anak sekolah ya, butuh banget pendampingan.

  3. Alhamdulillah mendapatkan kiriman, buah dan lauk selama isolasi mandiri ya kak.
    Jika ada yang kurang, apakah dengan berbelanja online? Tapi jalan masuk gang kan ditutup ya.
    Semoga sekarang lebih membaik kondisinya ya mbak.

  4. Semoga segera negatif ya kak. Salah satu keluarga besar ku, tepatnya ponakanku pernah test sebelum balik ke pondoknya hasilnya reaktif dag dig dug dong akunya. Disaranin tes ulang setalah mengkonsumsi vitamin. Dan alhmdulillah non reaktif sehingga bisa balik pondok.

  5. Wah baru tau kalau kak Leila terpapar Covid ya. Covid bisa menyerang siapa saja, bukan karena kita lengah atau lalai. Semoga segera pulih ya Kak, tetap semangaattt 🙂

  6. yups setuju banget, tetangga ku ada yang positif. Awalnya istrinya aja, dia merasa sehat dan bertemu dengan temannya, padahal katanya sudah jaga jarak dan pakai masker, tapi ternyata seminggu kemudian dia dpt tlp tracking dari temennya itu. SWAB dan positif, suaminya masih neagtif tapi dia masih bisa keluyuran, sampai akhirnya dia SWAB lagi dan positif juga. Se RW-RW geger karena ketemu dia tiap hari. semua tetangga akhirnya ikut tes. Ngga ngerti lagi deh. cuma berdoa semoga segera berlalu.

  7. Yg positif ataupun negatif, yg penting kit lakukan pola hidup sehat semakin baik dan maksimal ya…
    Mati hidup itu urusan Tuhan
    Pasrah setelah ikhtiar full

  8. wah mba semoga lekas pulih yah, memang sih agak susah juga ya mau jujur ke siapa dulu tapi kalau di kantor emang wajib jujur di kantor ada yang kena positif 1 dan terakhir lakukan meeting akhirnya orang2 yg pernah kontak kami rumahkan selama 2 minggu barukemarin pada masuk kembali

  9. Mba setelah gejala muncul sampai kondisi membaik berapa lama? Aku udah mau seminggu nih batuk kering, demam cuma di hari pertama’ mau tes aku takut ya mana lagi hamil

  10. Sekarang harus bener-bener disiplin utk menerapkan protokol kesehatan ya, udah seminggu ini aku agak parno juga karena batuk kering belum sembuh-sembuh’ mau cek agak takut krn lagi hamil

  11. rasanya, pandemi ini bener-bener hrs disikapi dg bijak ya. Kita jg gak bisa menyalahkan beberapa pihak yg akhirnya mereka positif covid. mana sekarang yg OTG semakin merajalela, huhuuu.. protokol kesehatan kudu ketat. gak perlu bgt keluar rumah kalo gak penting bgt 🙂

  12. Mbak, semoga lekas pulih ya. Ini tuh kayak temanku juga gak ada gejala apapun tau-tau dia drop aja gitu dan diperiksa hasilnya positif. Banyak yang gak mau terbuka karena dirinya positif takut dikucilkan tapi gak semuanya begitu. Karena kebetulan di tempat mamahku ada tetangga di lain blok yang positif, itu kita saling bantu mereka. Jadi memperhatikan keluarga korban juga sangat penting, aku belajar dari lingkungan tinggal mamahku.

  13. Pingback: Writober 1: Terdampak Langsung oleh Pagebluk | Cerita-Cerita Leila

Leave a comment