Sekian bulan hanya menjadi pengamat soal pagebluk Covid-19, sambil sesekali menuliskan hal-hal terkait mereka yang terdampak untuk tugas kantor, Agustus lalu saya dan keluarga akhirnya mengalami sendiri, menjadi yang terdampak langsung. Melalui penelusuran kontak erat dari kasus yang sudah ada, saya dan suami menjalani pemeriksaan swab PCR yang hasilnya ternyata positif.
Kami kemudian melapor ke Pak RT. Alhamdulillah respon beliau baik. Padahal kami terhitung warga baru karena baru pindah Maret lalu. Kami bahkan belum sempat banyak berkenalan dengan tetangga karena keburu PSBB. Pak RT menghubungkan kami dengan puskesmas, sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Selanjutnya, ada perawat yang ditugaskan memantau kami meskipun hanya via whatsapp.
Anak-anak dan ART kami disarankan mengikuti tes rapid dilanjutkan dengan swab PCR di Puskesmas ketika hasil tes rapid-nya reaktif. Anak kedua dan ART negatif, tetapi anak pertama positif. Karena kondisi rumah kami dianggap layak, kami diizinkan untuk isolasi mandiri.
baca juga: Tips Mempersiapkan Anak untuk Tes Swab
Apalagi kami semua tidak merasakan gejala apa-apa, atau istilahnya kasus konfirmasi asimtomatik (dulu diistilahkan dengan orang tanpa gejala atau OTG). Hanya saya yang sempat menggigil selama beberapa hari, tanpa disertai demam. Saya juga mengalami sakit kepala ringan, tetapi rasanya ini cenderung karena banyak pikiran.
Setelah swab kedua pada akhir Agustus sempat masih positif (hanya anak pertama yang sudah negatif), alhamdulillaah pertengahan September lalu kami sekeluarga bisa swab ulang dan hasilnya sudah negatif semua.
Kalau ditanya bagaimana perasaan saya, yang jelas pertama sih kaget. Waktu itu yang terpikir pertama anak-anak. Rasanya hampir tidak terlalu mengkhawatirkan diri saya sendiri, tapi bagaimana kalau anak-anak tertular, dan itu berarti dari kami, orang tua mereka.
Alhamdulillah lingkungan sekitar begitu perhatian. Kami diberi suplai makanan berupa sayur matang, lauk, dan buah, bahkan cemilan yang disediakan oleh ibu-ibu PKK. Pak RT sendiri yang mengantar sajian ini setiap pagi ke rumah. Kiriman dari teman-teman pun terus mengalir, termasuk sembako dan suplemen dari sejumlah komunitas yang saya ikuti seperti Ibu Profesional Jakarta, SmartMumsID, dan MomsIndonesia.
baca juga: Jujur Mengenai Status Positif Covid-19
Kejadian ini mengingatkan kami bahwa sebagai manusia, kami ini kecil sekali. Makhluk semungil virus bisa membuat banyak sekali perubahan. Ketika sudah begitu terasa sekali perlunya lebih banyak bersyukur.
Bernapas yang kita lakukan sehari-hari seakan tanpa sadar, bisa jadi merupakan kemewahan bagi orang lain. Bisa memeluk anak-anak yang mungkin menjadi hal biasa sehari-hari, sebenarnya merupakan karunia yang juga perlu disyukuri
Saya juga semakin yakin bahwa melindungi diri dengan perlengkapan seperti masker maupun doa jika memang harus keluar rumah merupakan ikhtiar kita. Demikian pula dengan menahan diri untuk bepergian jika tidak terlalu penting, adalah kontribusi yang bisa kita berikan untuk negeri.
Terkesan sepele, padahal artinya sungguh besar. Semua ini bukan hanya agar diri kita tidak tertular, melainkan juga upaya agar keluarga kita juga aman. Bahkan bisa jadi sebaliknya: agar kita tidak menularkan ke orang lain tanpa kita sadari.
Saya menceritakan pengalaman kami ini bukan untuk menakuti, tetapi agar kita tetap waspada. Juga bukan bermaksud meremehkan, mengingat kondisi saya yang tidak merasakan sakit, melainkan untuk mengingatkan bahwa kita punya tanggung jawab. Sebagaimana yang sudah saya alami, kalau sudah kejadian menularkan ke anak, ada rasa bersalah yang terus membayangi.
Tentu, ini semua bagian dari takdir. Jika kita sebagai manusia sudah berupaya dan berdoa, tinggal pasrah saja pada Yang Mahakuasa. Kalau ternyata kita tetap ditakdirkan tertular juga, pasti ada hikmah di baliknya.
Catatan:
Ini kali kedua program Writober kembali dihelat di Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta. Seperti sebelumnya, para anggota antusias melihat sejumlah kata yang termasuk langka. “Pagebluk” misalnya, yang memang sedang banyak disebutkan akhir-akhir ini, tetapi sebelumnya relatif jarang dipakai. Kata yang dijadikan padanan bagi wabah ini berasal dari bahasa Jawa, dengan ejaan aslinya menggunakan huruf “g” alih-alih “k”.
Asal-usul kata pagebluk ini sendiri sempat menjadi bahan obrolan hangat di antara kami di grup. Ada yang menebak bahwa kata dasarnya adalah geblug yang mirip dengan onomatope jatuhnya sesuatu. Jika dihubung-hubungkan, barangkali istilah ini mengemuka gara-gara wabah penyakit yang menyebabkan orang-orang bergelimpangan. Saya sendiri merasa jarang membaca kata geblug saja, bahkan dalam majalah-majalah berbahasa Jawa yang dulu rutin saya baca karena (alm.) Mbah Kakung berlangganan.
Karena penasaran, saya pun mencari tahu. Wah, ternyata benar juga. Saya menemukan buku Pengetahuan Budaya dalam Khazanah Wabah (Gadjah Mada University Press, Editor Agus Suwignyo) yang relatif baru diterbitkan, tepatnya pada bulan Agustus 2020. Dalam buku yang berisi kumpulan tulisan ini, salah satu penulis menyebutkan referensi yang ia temukan mengenai riwayat kata pageblug.
Geblug dalam bahasa Jawa berarti jatuh, tersungkur, tumbang (Poerwadarminta, 1939). Kata pageblug menggambarkan kondisi ketika korban jiwa berjatuhan dan tersungkur, yang terjadi serentak di wilayah lokal dan menyebar ke wilayah global (M. Dwi Cahyono, 2020).
#Writober2020
#RBMIPJakarta
#Pagebluk