Dengan semakin meluasnya kasus Covid-19, adakalanya anak-anak perlu menjalani tes Covid khususnya tes swab karena satu dan lain hal. Misalnya karena diminta oleh provider perjalanan atau pendidikan, atau karena sudah terjadi kontak erat antara anak dengan orang yang positif Covid-19.
Hari ini putri pertama kami mengikuti tes swab untuk kedua kalinya. Ia dinyatakan positif untuk tes swab pertamanya, sebagaimana kami selaku orang tuanya. Kemungkinan besar memang tertular dari kami berdua yang sama sekali tidak menyadari sudah terinfeksi, karena memang tidak ada gejala yang berarti.
Panjang sebetulnya kalau mau cerita tentang riwayat Covid-19 kami ini. Kali ini saya akan berfokus pada tes swab yang harus dilalui, lebih khusus lagi bagi anak-anak. Kalau tes rapid, mungkin anak sudah ada gambaran dan orang tua juga lebih mudah menjelaskan, karena prosedurnya melibatkan jarum suntik.
Sesuai dengan namanya, cara pengambilan sampel dengan metode swab ini artinya “usap/apus”. Jadi, sampel yang akan digunakan adalah apusan yang menempel pada alat, yang nantinya akan dicek di bawah mikroskop. Lebih tepatnya, nama tes yang kami jalani adalah tes PCR (polymerase chain reaction), karena ada juga tes swab antigen yang tingkat akurasinya lebih rendah. Di laboratorium, sampel ini nantinya diperiksa untuk memastikan keberadaan DNA virusnya.
Sebetulnya metode swab bukan hanya dipakai untuk mendeteksi Covid-19. Radang tenggorokan yang sering menjadi diagnosis itu idealnya juga dipastikan dengan tes swab ini dan bukan sekadar disenter, tentunya tes swab-nya juga yang spesifik untuk mengecek keberadaan bakteri penyebab radang tenggorokan. Soal ini pernah saya tulis di sini: Seputar Radang Tenggorokan. Sesuai judul, bahasan dalam tulisan ini akan lebih mengerucut untuk tes Covid-19
Terdapat dua lokasi untuk tes swab PCR, yaitu:
- Nasofaring, sesuai namanya dilakukan lewat lubang hidung
- Orofaring, dilakukan secara oral atau melalui mulut, mengambil sampel dari tenggorokan.
Sampai dengan saat ini kami belum paham apa yang membuat sebagian fasilitas kesehatan mengambil sampel nasofaring saja, ada juga yang nasofaring satu lubang hidung plus orofaring, ada pula yang nasofaring dua lubang hidung ditambah orofaring. Kesemuanya pernah kami jalani, karena memang dilakukan di fasilitas layanan kesehatan yang berbeda-beda. Ketika saya tanyakan ke petugas puskesmas, katanya memang seringkali terkendala keterbatasan peralatan sehingga hanya swab nasofaring. Toh, swab nasofaring akurasinya memang lebih tinggi dibandingkan dengan swab orofaring.
Nah, seperti kita tahu, kadang datang ke fasilitas kesehatan ini saja sudah “menakutkan”. Apalagi prosedur yang akan dijalani sendiri memang tidak nyaman. Namun, daripada berfokus pada kekhawatiran, kita coba cek yuk beberapa tips yang saya kutip dari The New York Times ini.
- Jujur mengenai prosedur yang akan dilewati. Mayo Clinic punya video yang cukup jelas tentang bagaimana mempersiapkan anak, disertai dengan gambaran prosesnya.
Mungkin ada orang tua yang menganggap cara semacam ini malah akan membuat anak menolak, saking terlalu realistis gambarannya. Akan tetapi, bila orang tua menutup-nutupi, apalagi misalnya sama sekali tidak menceritakan mau berangkat ke mana, justru ini bisa merusak kepercayaan anak.
2. Jangan pula berbohong bahwa prosesnya tidak sakit, sebab kenyataannya memang bagi kami berdua yang orang dewasa pun tes swab tidak terlalu nyaman. Seorang teman pun bercerita bahwa suaminya sampai harus digantikan saat menyetir pulang sehabis tes swab, karena matanya terus berair.
3. Orang tua bisa menggambarkan tentang alat yang dipakai yaitu semacam cotton buds alias kapas bertangkai. Cuma, ukurannya sedikit lebih panjang dari yang biasa dipakai di rumah-rumah. Kebetulan sekali beberapa hari sebelumnya kami memang mempraktikkan teknik melukis pointilisme dengan menggunakan cotton buds bersama-sama.
4. Pakaian APD lengkap yang bakal dipakai oleh petugas kesehatan yang mengambil sampel pun bisa menjadi sumber ketakutan anak. Jelaskan mengapa pemakaian “pakaian astronot” ini diperlukan, yaitu untuk melindungi kedua belah pihak dari potensi penularan.
5. Karena sebaiknya pasien diam saat pemeriksaan, kita bisa mengingatkan anak untuk duduk diam membeku seperti Anna di film Frozen. Anak laki-laki mungkin akan lebih mengena jika dibilang untuk diam mematung seperti tentara. Mungkin ada yang memperbolehkan anak dipangku oleh orang tua, tetapi sepertinya akan jadi cukup merepotkan kalau sistemnya drive-thru dan anak sudah lebih besar.
6. Membawakan barang kesayangan seperti boneka atau selimut juga bisa membantu agar anak lebih tenang.
Setelah proses pengambilan sampel selesai, hasilnya biasanya akan keluar dalam waktu 24 jam hingga lima hari. Salah satu klinik langganan kami menginformasikan bahwa ada pilihan harga juga, semakin cepat hasil diperoleh maka semakin mahal pula tarifnya. Bisa dimengerti, sih, karena antrean sampel di lab konon memang begitu banyak, ya. Kalau di puskesmas sebagaimana anak-anak dan pengasuhnya kemarin, hasilnya keluar sekitar dua sampai tiga hari kerja.
Dari pengalaman tes swab anak-anak kami, anak-anak malah antusias sekali ketika mereka bersiap-siap untuk tes diantar oleh pengasuhnya. Khususnya saat pertama kali keluar untuk tes rapid yang ternyata lalu diikuti oleh tes swab esok paginya. Maklum, namanya juga sudah berbulan-bulan di rumah saja.
Akhirnya mereka bisa mengenakan gamis cantik selain untuk main putri-putrian di rumah, akhirnya pakai face shield unicorn yang sudah dibelikan (tanpa saya tahu saat membeli bahwa akan dipasang untuk keperluan ini), akhirnya juga pakai sepatu yang biasa digunakan untuk ke sekolah, lengkap dengan kaos kakinya. Sedih sebenarnya melihat semangat mereka, tapi di sisi lain saya bersyukur mereka tidak rewel atau menunjukkan ketakutan, sehingga semoga prosesnya lebih lancar.
Sesudah hasil diterima, bukan berarti pekerjaan orang tua selesai. Apalagi jika hasil masing-masing anggota keluarga berbeda-beda. Bahkan meskipun tidak ada gejala jelas yang menyertai, seperti kami yang awalnya tes karena tracing, bukan karena ada keluhan, pastinya jadi perlu ada langkah-langkah pemisahan area aktivitas sehari-hari jika ingin tetap melakukan isolasi mandiri di rumah saja.
Belum lagi masalah psikologis yang membuat saya sampai menghubungi psikolog di sekolah anak-anak untuk meminta masukan. Sebelumnya saya menulis catatan tentang positive thinking selama pandemi, dan di situ dijelaskan soal mengelola perasaan yang naik turun dengan adanya pembatasan sosial dan berita-berita sedih. Ternyata menjaga perasaan anak saat dinyatakan positif itu lebih menantang lagi. Soal ini akan saya bahas pada tulisan berikutnya, semoga setelah kami semua sudah dinyatakan bebas dari Covid-19.
Sekian tips dari saya, mungkin ada yang mau berbagi juga? Ditunggu, yaa…
Foto: pikist
Ya Allah, mom leila, semoga putrinya lekas sembuh , mom tidak sendiri, aku pun merasakan hal yang sama. Stay safe ya mom…
Suamiku positif mbaa, aku bersyukurnya anakku ga usah rapid maupun swab. Karena kondisinya sehat banget. Ngga bayangin gimana anak kecil diswab. Pengin nangis rasanya. Mudah-mudahan si kecil cepat pulih ya mbaa. Semangaaat
Semoga suami lekas pulih, ya, Mbak. Kalau kami tetap diarahkan untuk anak-anak rapid lanjut swab karena ada riwayat kontak sama kami berdua yang positif. Anak pertama juga enggak ada gejala tapi ternyata positif.
Innalillahi kak,
Bagaimana keadaannya sekarang?
Anak-anak dapat hasil berbeda? lalu bagaimana mengurus mereka sementara mbak dan suami positif.
Syafahullah mbak, semoga Allah mengangkat penyakit corona ini.
Doa saya bersama mbak sekeluarga.
Ngeri banget kalau anak harus tes swab, gak bisa ngebayangin mbak. Semoga selalu diberikan kesehatan ya mbak
yampun tak tega aku kalo anak-anak di swab, pasti rasanya ngilu pas alat masuk ke hidung. semoga anak-anak bisa bersabar sama prosesnya ya mba. makasih sharingnya.
Ya Allah, sedih saya membaca tulisan kak leila. semoga lekas sembuh dan kuat ya. juga untuk Ibukafa dan kak jihan. saya yakin kakak pasti berat melewati ini semua, semoga Allah selalu beri kekuatan dan kesembuhan ya kak. Aaminn
allah rabbii,.. semoga senantiasa dalam lindunganNya selalu ya Mbak.. saya juga kemarin jelasin sedetail-detailnya buat jelasin keadaan skrg dan pentingnya test rapid. Tapi swab emang lebih sakit ya hasilnya yg akurat jg bikin lebih deg2an..
Duhh ngeri ya mba tes swap ini, semoga anak anak kita sehat terus ya mba supaya keadaan psikologis juga selalu baik, makasih ya mba tipsnya
Mba, semoga lekas sembuh untuk anaknya ya Mba. Betul kita tidak boleh menutup-nutupi ke anak jika akan tes swab karena bisa menimbulkan trauma. Lebih baik jujur dan beri penjelasan ke anak.
YaAllah kak 🤗 lekas sembuh y untuk putri nya Kaka yg kuat tetap jaga kesehatan nya
Terima kasih kak udah berbagi cerita. Baru ini saya baca artikel swab buat anak. Semoga segera pada pulih ya. InshaAllah. Turut mendoakan ya kak
Mbak sekeluarga semoga tetap semangat dan lekas sehat kembali ya. Aku nggak bisa bayangin anak-anak test swab tuh kasian lihat prosesnya huhu.
Saya pernah ikut tracing rapid test covid juga, rasanya sudah dag dig der. Saya berusaha utk positif thinking, dan siap dengan apapun hasilnya. A;hamdulillah hasilnya negatif dan tidak reaktif. Turut mendokana semoga Mbak seekeluarga diberikan kesehatan selalu, semoga kondisinya segera membaik, aamiin
Jujur, sama virus ini aku worry banget. Ngga sampai ketakutan juga tapi bener-bener ekstra waspada. Siapapun bisa kena, ngga cuma orang dewasa. Yang bikin worry karena si virus kan ngga keliatan tapi pergerakannya cepet banget. Berdoa semoga baik-baik ya mba
Ya ampun, Mbak. Aku gak bisa bayangin gimana rasanya diswab. Apalagi kalo anak-anak. Suamiku juga beberapa bulan lalu reaktif rapid tes. Tapi pas tes swab alhamdulillah negatif. Semoga lekas sehat seperti biasa ya. Salam buat si kecil. Peluuuk…
emang benar harus jujur dengan proses yang akan mereka jalani nanti, bukan menakuti tapi biar bersiap juga kan ya.
semoga Mbak sekeluarga segera pulih ya, Aamiin
Pingback: Jujur Tentang Status Positif Covid-19, Sejauh Apa? | Cerita-Cerita Leila
Pingback: Writober 1: Terdampak Langsung oleh Pagebluk | Cerita-Cerita Leila