Akhirnya tibalah saya pada tahapan terakhir (sejauh ini) pada Institut Ibu Profesional, yaitu Bunda Salihah. Baru mulai, sih jadi belum tahu seperti apa nanti kelanjutannya. Sanggupkah saya bertahan?
Jika tahapan awal yaitu Bunda Sayang berkaitan dengan cara mendidik anak dengan baik, berikutnya Bunda Cekatan membahas pengelolaan keluarga yang baik, lalu Bunda Produktif menempa supaya perempuan dapat mandiri dan memiliki jati diri, maka Bunda Salihah akan mengasah agar keberadaan ibu bermanfaat bagi diri, keluarga, hingga lingkungan sekitarnya.
Dengan cepatnya perubahan zaman, tentu para ibu juga harus lincah beradaptasi. Bunda Salihah Batch #1 ini berfokus pada tema Ibu Pembaharu, ibu yang mampu menemukan masalah kemudian mengubahnya menjadi tantangan hidup, sehingga bisa menciptakan solusi untuk masalah tersebut. Dengan bergerak bersama-sama, harapannya tercipta ekosistem agar solusi ini bisa mendukung proses adaptasi di tengah dunia yang terus bergerak.
Konsepnya memang sangat menarik. Baru materi pertama, saya sudah merasa deg-degan sekaligus tertantang. Ya, saya bukan tipe yang suka menguraikan masalah sedemikian rupa, karena kadang-kadang menurut saya proses ini malah menghambat, memboroskan waktu yang bisa dipakai untuk langsung mengeksekusi apa yang bisa dilakukan agar masalahnya lekas selesai. Makanya, butuh waktu bagi saya untuk bisa mengerjakan tugas pertama ini. Saking tidak terbiasanya, memang.
Berikut adalah identifikasi masalah yang saya berhasil rumuskan. Tidak jauh-jauh dari minat dan proyek yang dipilih pada tahapan berikutnya (Bunda Produktif), memang. Masih seputar penulisan, hanya saja kali ini lebih mengerucut ke penulisan buku solo. Sesuatu yang belum juga berhasil saya wujudkan.

Dalam sesi diskusi dengan teman-teman se-Cohouse, saya sempat mengungkapkan bahwa saya agak terganggu dengan penyebutan istilah “masalah”. Bukankah selama ini di Ibu Profesional kita diarahkan untuk menganggapnya sebagai “tantangan”. Kedua kata ini memang punya nilai rasa yang berbeda. “Masalah” cenderung seperti melemahkan semangat, sedangkan “tantangan” sebaliknya. Namun, menyimak lagi paparan Bu Septi, seperti juga yang diingatkan oleh teman-teman, namanya orang hidup wajar kok ada masalah. Justru ketiadaan masalah itu barangkali hanya berlalu bagi orang yang sudah tidak hidup lagi.
Ganjalan lain yang saya pikirkan adalah pencarian masalah seperti identik dengan tidak bersyukur. TIdakkah kita sebaiknya menerima saja jalan hidup yang sekarang? Bukan berarti tidak mau berkembang, ya. Mencari ilmu, meningkatkan kompetensi diri di bidang apa pun yang bernilai kebaikan tetap dilakukan, meskipun merasa tidak ada masalah di bidang tersebut. Menurut saya, kekurangan kita belum tentu menjadi masalah, sebab justru dengan merangkul kekurangan ini, percaya bahwa itulah yang terbaik yang diberikan Allah, kita bisa mengasah sisi lainnya sebagai penyeimbang.
Lagi-lagi, diskusi di grup menyadarkan saya. Ya, mungkin soal perbedaan penyebutan saja, memang. Toh ketika mau mencari solusi, berarti ada sesuatu yang salah, dan itu namanya masalah. Dan melakukannya bukan berarti tidak bersabar maupun tidak bersyukur. Malahan, proses identifikasi hingga solusi ini adalah bagian dari perwujudan syukur kita sebagai manusia yang dianugerahi akal pikiran dan perasaan.
Jadi, inilah identifikasi masalah saya:

Untuk poin meningkatkan kompetensi ini saya memang agak tidak yakin, karena dengan kondisi sekarang, kuliah lagi misalnya, kelihatannya bukan merupakan prioritas saya. Maka, saya masukkan hal tersebut di poin paling akhir. Saya juga menambahkan alternatif lain yaitu branding, meskipun agak khawatir arahnya jadi seperti pencitraan belaka. Semoga bisa tertangkap ya bahwa branding ini maksudnya lebih ke konsistensi, contohnya dalam memproduksi tulisan di bidang tertentu.

Sampai sini jadi deg-degan, nanti ditagih tidak ya pencapaian seperti di atas, sebagai syarat kelulusan dari kelas ini, hehehe. Karenanya, saya agak bermain aman dengan menargetkan kerangka saja dulu. Soalnya, sepengalaman saya, kalau sudah mulai menulis, sebetulnya untuk memjuntaskan tidak terlalu memerlukan waktu lama.

Terlalu mulukkah ketika saya ingin fokus ke tulisan solo? Sementara, seringkali saya masih dihinggapi perasaan minder. Khawatir hasil tulisannya nanti dipandang judging, atau emndadak ada update ilmu yang membuat apa yang saya tulis tidak relevan lagi, takut pembaca menafsirkan lain sehingga saya kebagian “dosa jariyah”-nya, dan seterusnya.

Namun, ya, bismillah, semoga dengan menyelesaikan tugas ini, saya juga lebih mahir dalam memetakan masalah ke depannya. Semua ini agar saya bisa lebih bermanfaat juga untuk orang banyak.
#materi1 #ibupembaharu #bundasalihah #darirumahuntukdunia #hexagoncity #institutibuprofesional #semestaberkaryauntukindonesia