Anemia, khususnya anemia defisiensi besi (ADB) selalu menjadi salah satu topik hangat di grup facebook maupun whatsapp ibu-ibu, khususnya yang memiliki anak bayi atau balita. Jika ada yang curhat anaknya berbadan mungil, biasanya akan ada yang menanggapi dengan saran cek kadar Hb, kalau perlu screening secara keseluruhan. Sebab, anemia diketahui bisa menghambat pertumbuhan.
Tapi di sisi lain, ada juga yang beranggapan tes-tes semacam itu cenderung merepotkan, apalagi jika dokter yang memeriksa (dan sudah berkomentar tentang pertumbuhan) malah tidak pernah merujuk atau menyuruh supaya tes darah untuk mengetahui apakah statusnya anemia atau tidak.
Usai bahasan panjang tentang tes atau tidak, ada pula pro kontra seputar apakah suplemen zat besi perlu diberikan. Ada orangtua yang mengikuti rekomendasi IDAI untuk memberikan suplemen zat besi pada anak sejak bayi tanpa memandang status Hb, ada yang memilih tes dulu agar suplementasinya lebih tepat sasaran, ada juga yang meski sudah jelas-jelas anemia tapi beranggapan bahwa ‘yang alami lebih baik’, alias bertekad mengejar kekurangan zat besi dari makanan sehari-hari.
Jadi, apa sesungguhnya anemia ini, dan apa dampaknya jika anak anemia? Tanggal 16 September lalu saya ikut menyimak penjelasan dari dr. Elizabeth Yohmi, Sp.A., IBCLC. di RS St. Carolus Salemba, Jakarta Pusat. Tema materi dalam acara yang disponsori oleh Caladine ini adalah Anemia pada Anak dan Dampak Jangka Panjangnya, maka dr. Yohmi mengawali dengan pertanyaan dasar, “Apakah anemia itu?”
Untuk bayi/balita berumur 6 bulan sampai 5 tahun, WHO mendefinisikan anemia sebagai kondisi di mana kadar Haemoglobin-nya di bawah 11 g/dl. Sedangkan untuk usia 6 tahun sampai 14 tahun, anemia adalah ketika Hb kurang dari 12 gr/dl. Untuk dewasa, angkanya beda lagi dan dibedakan pula sesuai jenis kelamin maupun kondisi hamil/tidak hamil.
“Haemoglobin adalah suatu zat dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Haemoglobin ini jugalah yang memberikan warna merah dalam sel darah merah,” terang dr. Yohmi.
Apa yang terjadi jika Hb rendah? Jika masih ringan, gejala yang tampak bisa berupa rasa lemah, lesu, sesak napas ringan apabila melakukan latihan, dan palpitasi. Sedangkan untuk anemia sedang, gejala di atas disertai dengan kelelahan yang berlebihan. Kalau anemianya sudah berat, saat beristirahat pun orang tersebut bisa merasa sesak disertai detak jantung yang sangat cepat, sakit kepala atau pusing, sulit tidur, bahkan sampai pingsan.
Terdapat beberapa jenis anemia, di antaranya anemia defisiensi, anemia hemolitik, anemia pasca-perdarahan, anemia aplastik, dan anemia akibat proses keganasan.
Anemia pada bayi biasanya berkaitan erat dengan riwayat persalinan, khususnya apabila terjadi perdarahan bayi ataupun ibu saat bersalin. Gizi ibu yang kurang juga bisa berdampak pada rendahnya kadar Hb bayi yang ia kandung dan lahirkan.
Saat memeriksa anak yang diduga anemia, dr. Yohmi biasanya menanyakan sejumlah hal pada orangtua pasien, termasuk riwayat keluarga dan obat-obatan yang dikonsumsi. Secara fisik, yang akan diperiksa adalah kulit tubuh, pembesaran organ (hati, limpa, kelenjar getah bening, dll), suhu tubuh, perdarahan yang nyata maupun yang tidak terlihat, gizi anak, hingga ada tidaknya massa/tumor.
Pemeriksaan penunjang bisa dilakukan kemudian, seperti tes darah untuk mengetahui kadar Hb, Ht, leukosit, trombosit, MCV, MCH, MCHC, RDW, serta retikulosit dan sediaan apus. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai dengan gejala klinis.
Untuk anemia defisiensi alias yang disebabkan oleh kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi atau ADB), umumnya tidak ada pembesaran organ dalam. Salah satu ciri ADB adalah penurunan nafsu makan anak, dan proses terjadinya lama atau tidak mendadak (berbeda dengan yang disebabkan oleh perdarahan, minum obat, keracunan dll).
Defisiensi besi memang merupakan salah satu penyebab utama defisiensi nutrisi paling banyak di dunia, sekaligus menjadi penyebab utama terjadinya anemia. Angka keterjadiannya paling tinggi pada anak-anak dan wanita usia subur.
Zat besi ini memiliki fungsi salah satunya untuk perkembangan sistem saraf, yaitu mielinisasi, neurotransmiter, dendritogenesis, dan metabolisme saraf.
Kekurangan zat besi bisa berdampak negatif, di antaranya pada:
- Mempengaruhi fungsi kognitif
- Tingkah laku dan pertumbuhan bayi
- Sumber energi bagi otot, hingga ke ketahanan fisik.
Apa yang bisa orang tua lakukan? Antara lain, perhatikan asupan gizi anak. Jangan asal ikut tren dalam memberikan makanan pendamping ASI atau MPASI ke bayi, jangan pula mudah galau ketika ada metode baru yang tampak menarik. Sebab kebutuhan zat besi anak perlu dikejar sedari dini, jadi jangan tunda memberikan makanan yang kaya akan zat besi pada bayi ketika sudah waktunya mulai makan.
Pahami makanan mana yang merupakan sumber zat besi, dan pelajari pula bagaimana menyajikannya agar optimal. Sayang kan, kalau sudah diberi makanan yang mengandung zat besi, tetapi pada saat yang bersamaan justru bahan makanan/minuman lain di piring yang sama atau setelahnya cenderung malah menghambat penyerapan zat besi.
Daging merah, hati, ayam, dan ikan sudah cukup luas dikenal sebagai sumber zat besi. Maksimalkan asupan zat besi ini dengan memberikan buah-buahan yang kaya vitamin C seperti buah jeruk, pir, apel, dan nenas dalam waktu berdekatan.
Hindari bahan makanan seperti gandum, teh, kopi, cokelat, dan kacang polong. Atau kalaupun mau diberikan sebaiknya kasih jarak dulu, karena bahan makanan ini dapat menghambat penyerapan zat besi alias bertindak sebagai inhibitor zat besi.
Tentu, jika sudah ada gejala, orangtua harus segera tanggap mencari pertolongan dari ahlinya. Apalagi zat besi ini penting juga untuk perkembangan sistem saraf. Kalau sampai kekurangan zat besi, efeknya bisa ke fungsi kognitif, tumbuh kembang, dan tingkah laku. Serem, kan?
Masih ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan, termasuk pengalaman anak-anak menjalani uji tapis anemia defisiensi besi, tapi mungkin di tulisan berikutnya nanti, ya….
#ODOPOKT6
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.