Awal bulan ini, tepatnya tanggal 1 lalu, saya kembali memboyong seisi rumah untuk mengikuti kegiatan wisuda program Matrikulasi Institut Ibu Profesional (IIP) Jakarta Batch 4. Lagi-lagi ‘jadi penyusup’ di acara batch lain, hehehe, seperti yang kami lakukan Mei lalu. Habisnya, sayang sih kalau melewatkan kesempatan belajar dari para pembiacara. Jika pada wisuda batch 3 yang diundang untuk mengisi materi adalah ustadz Harry Santosa, kali ini panitia menghadirkan ketiga putra-putri bu Septi Peni Wulandani (founder IIP) dengan pak Dodik Marianto.
Nurul Syahid Kusuma (Enes), Kusuma Dyah Sekararum (Ara), dan Elan Jihad Muhammad yang masa pendidikannya lebih banyak dijalani dengan metode homeschooling ini bisa dibilang merupakan bagian dari generasi Z. Enes kelahiran tahun 1996, Ara lahir setahun kemudian, sedangkan Elan, satu-satunya lelaki dari tiga bersaudara ini, lahir tahun 2003. Terakhir saya melihat mereka sekitar dua tahun yang lalu, ketika ada kuliah umum IIP (waktu itu belum jadi anggota) di mana bu Septi sekeluarga menjadi pengisi acara. Menarik melihat perkembangan ketiga anak muda nan cerdas ini. Mereka tampak makin mantap dan fokus dengan proyek sesuai minat masing-masing.
Menyimak pemaparan dari Enes berasa apa ya, ma sya Allah gitu, di usia yang sama (bahkan sampai sekarang) saya belum bisa se-pede itu. Enes yang sudah menyelesaikan studi S1-nya di Singapura pada usia 20 tahun ini mengawali presentasinya dengan membahas adab. Adab begitu penting, itulah kenapa di kelas Matrikulasi IIP, materi adab menjadi prioritas pertama sebelum materi lain diberikan.
Beberapa aspek dalam pendidikan:
Iman sifatnya hitam dan putih, tidak ada yang abu-abu. Ada kasus tertentu yang sifatnya keringanan, tapi hanya pada situasi darurat.
Akhlak merupakan sesuatu yang universal sifatnya. Di negara mana pun, semua menerima bahwa kejujuran dan integritas adalah hal yang baik.
Adab terlihat ketika kita berinteraksi dengan orang lain. Aturannya bisa berbeda di tiap daerah.
Cara berbicara pada orang lain akan berkembang sesuai dengan usia seseorang. Kematangan biasanya akan mengubah cara bicara (pemilihan kata dst). (btw, kelihatan juga lho perbedaan cara Enes presentasi dulu dan sekarang)
Apabila ada yang tidak diharapkan dari perilaku anak, maka orangtua seharusnya melihat ke diri sendiri. Apa yang hilang atau terlewat dari peran orangtua selama ini?
Mengapa adab diajarkan sejak awal? Bukan untuk membatasi atau terlalu mengarahkan, tapi untuk menjaga kemuliaan diri masing-masing. Saat sedang bertamu misalnya, adab membuat kemuliaan terjaga di antara para orangtua maupun antara para anak.
Ada orangtua yang tidak menurut pada orangtuanya? Cek lagi, adakah hal yang tidak konsisten diterapkan oleh orangtua, misalnya melarang nonton TV tapi ortu sendiri asyik nonton TV. Jangan ragu untuk minta maaf ke anak atas hal-hal yang tidak konsisten ini, perbaiki ke depannya. Pendapat lain dari Elan, berdasarkan pengalamannya sendiri, dulu ia suka bertingkah berlawanan dengan yang diperintahkan, dengan tujuan agar mendapatkan perhatian.
Penggolongan tipe anak sebagai auditori, visual, kinestetik itu bukan bertujuan untuk mengkotak-kotakkan, apalagi lalu memberi label yang terkesan menggeneralisasi. Orangtua tetap harus menerapkan ‘ilmu titen’ atau menandai dalam usaha memahami karakter anak. Memang sih, pengelompokan bisa membantu dalam menolong anak belajar (apa pun, bukan maksudnya belajar pelajaran sekolah saja), dari situ orangtua bisa menyesuaikan metode yang dipakai dan tidak membuang waktu/energi/biaya untuk hal yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak. Bukan berarti jadi nggak capek juga sih. Demi mengikuti anak kinestetik seperti salah satu putri beliau dulu misalnya, saat sang anak lari-lari, bu Septi bisa ikutan lari sambil membacakan buku.
Menurut para putra putrinya, pak Dodik dan bu Septi tidak pernah men-judge anak-anak mereka. Dalam hal menyusun presentasi untuk kegiatan-kegiatan misalnya. Dari awal anak-anak sudah dilatih untuk berpikir kritis, contohnya pada saat macet, orangtua mereka akan memancing dengan bertanya, apa ya kira-kira penyebab macet dan yang lebih penting lagi, kira-kira apa solusinya? Pak Dodik dan bu Septi suka menawarkan anak-anak untuk ‘presentasi’ kecil-kecilan dalam bentuk bercerita di depan teman-teman beliau. Berikutnya mulai dilatih untuk menyusun materi presentasi dengan tools.
Btw, wisuda Matrikulasi @ibuprofesionaljakarta batch 4 ini meriah dan berasa milenial banget dengan operet yang sungguh kekinian. Langsung ingat umur, dan seorang teman seangkatan pun ternyata berpendapat sama. Dulu waktu wisuda batch sendiri (batch 2) nggak bisa hadir juga sih, jadi pembandingnya paling wisuda batch lalu. Dan ternyata ketika besoknya saya buka-buka akun IG bu Septi, beliau pun memposting foto dengan ketua IIP daerah lain sambil menyebutkan bahwa generasi IIP yang sekarang-sekarang ini ternyata adalah generasi putri beliau, bukan lagi generasi adik.
#ODOPOKT7
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah.