Jurnal Ulat-ulat 5 Bunda Cekatan: Berkemah Bersama

Lagi-lagi pekan ini saya sebagai mahasiswi Bunda Cekatan Institut Ibu Profesional diminta untuk keluar dari zona nyaman. Kali ini dari segi bersosialisasi, walaupun kalau dari sisi wawancara sih sebenarnya itu hal yang biasa saya lakukan, ya. Kalau kata teman saya yang ikutan IIP juga (walaupun belum di kelas Buncek), ini karena namanya juga sudah Cekatan, sudah seharusnya lebih “keluar”, tidak sekadar “di dalam” sebagaimana halnya tingkatan sebelumnya yaitu Bunda Sayang.

Waktunya cukup terbatas, sejak pemberian tugas hari Jumat ke tenggat akhir hari Selasa sudah harus ada minimal lima teman yang diajak “berkemah bersama”. Teman-teman ini akan digali pendapatnya soal kelas favorit dan alasannya, serta apakah ada tantangan dalam mengikuti kelas tersebut. Kalau bisa, diminta agar teman-teman ini adalah teman-teman baru, bukan yang sudah dikenal sebelumnya. Hasil dari obrolan ini nantinya akan diolah menjadi grafik terkait kelas favorit.

Pikiran pertama saya, jujur, adalah “waduh!”

Terpikir saja, bagaimana caranya mencari teman baru? Kalau disuruh mencari teman dari luar regional masing-masing, saya sudah punya kenalan. Namun, “kenal” itu apa, sih, definisinya? Sering berinteraksi di kelas yang sama, grup yang sama, sering baca namanya muncul, apakah itu bisa disebut kenal? Teman akrab yang sering berbagi cerita tentang banyak hal tapi hampir tidak pernah bahas tugas Bunda Cekatan apakah boleh?

Lantas, kalau cuma ikut satu kelas, apakah valid jika kelas itu juga dikatakan sebagai kelas favorit, karena kan tidak ada kompetitornya. Banyak yang memutuskan untuk bertahan di satu keluarga saja daripada terkena badai informasi. Kalaupun ada yang berkunjung ke keluarga lain, waktu yang singkat rasanya belum cukup untuk menentukan suka atau tidak. Feel-nya tentu beda antara mengikuti sejak awal dengan baru berkunjung.

Lagipula, tolok ukur favorit ini juga bisa bervariasi. Suka karena sesuai peta? Suka karena tidak banyak badai informasi? Suka karena anggota keluarga yang lain bermurah hati berbagi ilmu yang bermanfaat? Suka karena rapi dan terstruktur? Suka karena anggotanya aktif berdiskusi? Bagaimana pula dengan menyimak presentasi atau go live oleh setiap perwakilan keluarga di grup FB, apakah bisa disebut sebagai sudah mencicipi rasanya jadi anggota keluarga lain?

Fita, sesama mahasiswi dari Jakarta menyadarkan saya: dari awal semboyannya adalah Merdeka Belajar. Jadi, mau seperti apa tolok ukur maupun metodenya juga bebas seharusnya. Semua boleh, kecuali yang tidak boleh.

Jadilah saya bergerak dengan memanfaatkan banyak platform sekaligus. Saya mulai dengan bertanya ke teman di komunitas lain yang saya tahu ikut IP juga di regional lain, apakah sudah ikut kelas Bunda Cekatan atau belum. Ternyata belum, tetapi ia lalu memberi saya nomor teman seregionalnya yang juga mahasiswi Buncek. Setelah berkomunikasi singkat dengan teman dari teman saya itu, saya kemudian juga mendorong diri untuk pede mengirimkan permohonan wawancara secara acak. Pesan perkenalan dan permohonan izin ini saya sampaikan ke ke anggota grup besar Bunda Cekatan yang namanya saya lihat di Fb. Selanjutnya, saya mencari tagar #kelasulatulat di Instagram dan melakukan hal yang sama. Ada juga kenalan lama yang saya wapri, dan saya pun menerima sejumlah pesan Whatsapp dari teman segrup. Banyak yang rajin membuat formulir agar lebih rapi dan terarah, tetapi saya merasa lebih enak mengobrol dengan cara tanya jawab.

Keluargaku Tantanganku

Dimulai dari saya sendiri, favorit saya adalah keluarga utama saya yaitu Keluarga WeBS (Web, Blog, Search Engine Optimization – SEO). Sejak pekan lalu saya sempat berkunjung ke Keluarga Manajemen Waktu bagi Ibu Bekerja di Ranah Publik, yang merupakan “anak” dari keluarga Uluwatu (Ulat-ulat Waktu atau keluarga Manajemen Waktu). Di sana, kami diminta berkenalan dan menceritakan secara singkat kondisi masing-masing. Grupnya memang sepertinya baru mulai, sehingga belum ada semacam rangkuman materi yang pernah dibahas atau dibuat oleh anggotanya. Ada juga yang berbagi tips dan referensi di grup itu sambil jalan perkenalan, tetapi saya agak kesulitan menyimaknya secara runut.

Hari ini saya mencoba mampir ke Keluarga Literasi. Alhamdulillah di sana terarsip dengan baik sejumlah materi yang langsung disematkan di deskripsi grup. Jadi, setelah kenalan singkat, saya langsung “makan” saja. Yang saya “makan” karena memang terkait dengan peta yang sudah saya buat (yang lebih fokus ke blog ketimbang menulis secara umum) adalah materi Teknik Membaca secara Efektif dan Konsisten Menulis.

Mengutip kata-kata Mbak Marita dari Keluarga WeBS, sesungguhnya kalau mau disambung-sambungkan ke peta kita bisa-bisa saja kok. Keluarga Portofolio anak misalnya, kan memang ada yang nge-blog untuk menyimpan portofolio anak. Keluarga Manajemen Emosi bisa dihubungkan dengan terapi menulis di blog untuk penyembuhan jiwa. Keluarga Fotografi bisa banget dijadikan sarana belajar bikin foto berkualitas sebagai pendukung di blog. Blogger juga senantiasa berjejaring yang menuntut keterampilan berbicara, apalagi kalau sudah diminta berbagi sebagai pemateri, sehingga mampir ke Keluarga Public Speaking bisa jadi solusi mengasah skill.

Kenapa Keluarga WeBS menjadi favorit saya? Alasan utamanya sih ya karena saya merasa tambah ilmu di situ. Para senior pun dengan baik hati mau berbagi tips dan pengalaman. Banyaknya “mastah” yang berbagi memang bikin wawasan tambah luas. Saya memperoleh jawaban atas beberapa pertanyaan yang selama ini saya cari jawabannya di artikel-artikel tapi belum ketemu yang benar-benar menghilangkan penasaran atau yang tidak sempat ditanyakan ke narasumber di kelas blog offline. Meski, ya, namanya juga belajar, setelah satu pertanyaan terjawab bisa jadi muncul pertanyaan lain sebagai lanjutannya. Kata Mbak Rahmah, “Itulah, semakin dipelajari blog itu maka akan semakin banyak kurang ilmunya.”

Salah satu hal baru yang saya pelajari di keluarga ini adalah bahwa menyisipkan postingan backdate itu tidak apa-apa. Aman, kok, untuk nilai blog kita. Apalagi kalau tujuannya adalah agar blog kita tidak seperti etalase: isinya jualan atau postingan berbayar semua, trik ini kan bagus juga. Asaaal, ada syaratnya memang. Postingan backdate ini harus langsung di-submit ke Google Console dan setelahnya kita wajib rajin-rajin ikut sesi blogwalking di grup-grup yang menyediakan fasilitas ini untuk meningkatkan kunjungan ke postingan tersebut (dan dengan demikian meningkatkan nilainya).

Soal postingan organik juga cukup makjleb. Saya kira postingan organik itu ya pokoknya postingan yang bukan dalam rangka pekerjaan (postingan dengan kerja sama atau berbayar) atau lomba. Ternyata, biarpun isinya curhat ataupun honest review, suatu postingan tidak bisa dibilang sebagai postingan organik kalau masih ada tautan ke luar. Contohnya, tulisan tentang ulasan buku yang baru selesai kita baca. Kalau kita menaruh tautan ke web penulisnya, meskipun kita benar-benar hanya ingin berbagi dan tidak dapat keuntungan dari situ, maka tulisan tersebut bukanlah postingan organik. Wow. Apa kabar ya saya yang kalau bikin curhat soal kesehatan anak pun tautannya ke website luar segitu banyak.

Perkara tampilan blog, seperti sudah saya ceritakan di sini, juga sempat bikin saya kepikiran. Alhamdulillah, ada juga blogger senior yang sependapat bahwa AdSense itu bikin tampilan kurang “bersih”, jadi saya tak sendirian rupanya (iya, ini ceritanya cari teman :D). Akan tetapi, rupanya ada juga yang berbagi tips mengakalinya. Adalah Mbak Naqiyyah yang mengatur secara manual agar postingan tertentu bisa dibuat tanpa AdSense. Pengaturan ini ia lakukan biasanya pada postingan review, untuk menghargai klien yang di-review dan agar pembaca juga lebih fokus pada kontennya.

Saya juga sekaligus semakin menyadari keterbatasan saya. Untuk bisa betulan mengoptimasi blog butuh waktu untuk belajar, untuk mencoba-coba, bahkan untuk mungkin mengalami kegagalan dulu. Saya jadi berpikir ulang tentang cita-cita belajar SEO. Toh, saya belum akan menjadikan nge-blog sebagai sumber mata pencaharian utama.

Namun, saya ingat niat awal saya nge-blog yang pernah saya tulis di sini. Mbak Susi di grup Keluarga WeBS mengingatkan juga, “Jangan lupa, kita curhat bukan sekadar curhat, tapi ingin dibaca banyak orang. Makanya kita belajar SEO. SEO bukan hanya tentang uang. SEO adalah tentang bagaimana sharing dan caring kita sampai pada para ibu yang membutuhkan. Para ibu yang sedang mencari ilmu parenting dan belum kenal Ibu Profesional.”

Pernyataan Mbak Susi termasuk “aha moment” (kalau pakai istilah di IP) buat saya. Saya memang sudah terpikir hal yang sama, tetapi itu kan versi saya sebagai newbie di dunia SEO. Logika saya, kalau bisa dapat posisi yang bagus di mesin pencari, kan, informasi dan berbagi pengalaman yang saya lakukan di blog juga akan lebih mudah ditemukan oleh yang membutuhkan. Hal itu lepas dari mau cari untung (materiil) dari blogging atau tidak. Alhamdulillah ada konfirmasi dari masternya.

Bu Septi dalam materi pekan ini juga sempat menyebut “sakit”. Tanyakan juga ke yang diwawancarai, adakah tantangan di keluarga pilihan masing-masing? Jika saya yang ditanya begitu, mungkin tantangannya adalah soal penggunaan istilah teknis yang belum bisa langsung dipahami. Namun, itu juga biasanya langsung dijelaskan oleh anggota keluarga lain yang paham.

Hal lain yang mungkin juga bisa didefinisikan sebagai “sakit” justru masih berhubungan dengan aha moment saya, yaitu seberapa jauh sih saya mau usaha untuk perbaikan blog ini? Makin lama menyimak paparan soal AdSense misalnya, makin terasa bahwa kayaknya saya (yang awalnya memang sudah ragu) tidak sanggup.

Pertanyaan yang juga sempat muncul di benak saya adalah soal etika, mengingat salah satu tips agar bisa menghasilkan uang dari blog adalah dengan trik-trik tertentu seperti “beternak” blog. Jadi, buat saja blog sebanyak-banyaknya yang nanti dipakai untuk saling mendukung agar nilai di mesin pencari meningkat. Triknya, ketimbang memuat tautan dari luar yang nilainya belum tentu bagus (saya pernah membaca bahwa ada blogger yang memang sangat serius soal ini, jadi secara berkala ia bersihkan blognya dari segala tautan yang berpotensi memperburuk nilai blognya, termasuk tautan ke website komunitas yang diikuti atau komentar dari blogger lain yang spam score-nya tinggi misalnya), lebih baik saling menautkan blog-blog sendiri yang sudah jelas masing-masing dipersenjatai dengan teknik SEO canggih.

Nah, bisa jadi dalam memperbanyak artikel untuk beternak blog ini jalan pintas yang diambil adalah dengan mengambil tulisan yang sudah ada. Ada yang mengubah isi tulisan seperlunya agar tidak terdeteksi plagiasi. Kalau ada dua artikel yang sama, tentu yang “dimenangkan” di mesin pencari adalah yang lebih dahulu terbit (atau lebih tepatnya mana yang duluan terdeteksi? mengingat tadi ada bahasan soal backdate).

Namun… nah, ada namunnya, nih. Ada juga yang mengambil mentah-mentah dari blog lain, lalu karena memang si peternak ini usaha banget untuk optimasi, jadinya konten copasan justru muncul di posisi yang lebih baik di mesin pencari. Bayangkan kalau kita yang kena. Well, toh segala sesuatu yang sudah dipublikasikan berarti sudah jadi milik umum, begitu, kan? Kalau pakai istilah Mbak Rahmah, mirip dengan perkara kita mau pakai watermark pada foto yang kita pajang atau tidak, “Bismillah niatnya kalau sudah di-share ke yang namanya dunia maya, maka itu sudah milik siapa saja. Soalnya kita tidak bisa tracking ke seluruh dunia siapa saja yang pakai.”

Ah, saya jadi galau lagi, segitunyakah dunia blogging? Haruskan saya sampai segitunya juga untuk dibilang sebagai blogger yang serius? Tapi tagline di Bunda Cekatan ini, kan, yang penting bahagia, ya? ๐Ÿ™‚

Pekan ini, tips yang saya terapkan adalah seputar bersih-bersih broken link memakai brokenlinkcheck sesuai rekomendasi Mbak Susindra. Lumayan juga, ya, ternyata, walaupun tidak sebanyak teman-teman yang sudah lebih aktif. Saya juga belajar membuat grafik secara praktis untuk tugas ini menggunakan Beam Venngage yang disarankan oleh Mbak Rini.

Survei Membuktikan….

Cukup soal saya, saya akan lanjut ke hasil wawancara yang sudah saya lakukan. Dari sekitar 30 orang yang saya hubungi secara acak melalui DM IG maupun messenger FB, lebih kurang dua puluh di antaranya membalas. Alhamdulillah tidak ada yang saya hubungi melalui jalur tersebut yang ternyata sama-sama dari IP Jakarta atau sama-sama dari Keluarga WeBS. Tadinya saya sempat mengira hal tersebut bisa saja terjadi, karena saya memang belum hafal keseluruhan anggota HIMA Jakarta maupun Keluarga WeBS yang berjumlah cukup banyak, dan saya tidak sampai menelusuri profil masing-masing asalnya dari mana.

Ada sih, memang, yang ternyata pernah berinteraksi sebelumnya melalui grup lain seperti Tambah ASI Tambah Cinta, atau melalui transaksi jual beli. Selain itu, setiap ada yang menghubungi saya lewat Whatsapp untuk mengumpulkan data, saya biasanya balik mewawancara meskipun ia berasal dari HIMA dan keluarga yang sama. Totalnya, saya mengobrol dengan 30 orang.

Terlihat bahwa mayoritas memfavoritkan Keluarga Manajemen Emosi. Konon memang anggota keluarga ini cukup banyak hingga kemudian dipecah menjadi kelas-kelas kecil lagi. Asumsi saya, karena ini ilmu dasar, ya, walaupun saya juga pernah membaca argumen bahwa ilmu yang lebih mendasar sesungguhnya adalah manajemen waktu, kalau waktu sudah bisa dikelola dengan baik maka kesehatan emosi pun akan mengikuti.

Boleh, ya, kalau saya memilih untuk menguraikan saja dalam bentuk narasi, karena begitu banyak cerita teman-teman Bunda Cekatan yang inspiratif. Tentang saya sendiri sudah saya uraikan di bagian pertengahan tulisan ini.

Andriyani, IP Bekasi: Keluarga favoritku teknologi kerna banyak para mastah yang berbagi elmu di sana meski kami cuma bertujuh. Namun, sekali masuk dapet manajemen gadget, manajemen waktu, manajemen emosi, dan manajemen keuangan ๐Ÿ˜๐Ÿ˜. Kerna hobi yg berhubungan dengan IT tak pernah murah dan mudah butuh dana dan kesungguhan mau belajar meski gagal puluhan bahkan ratusan kali sampai berhasil.

Fita Rahmat, IP Jakarta: Saya cuma lihat materi keluarga lain dari go live. Sebenarnya banyak yang menarik tapi karena fokus saya saat ini Manajemen Emosi, saya enjoy dengan keluarga ini. Apalagi ternyata cabang-cabang kelas manajemen emosi sesuai dengan apa yang saya butuhkan. Mulai dari inner child, self-healing, manajemen marah, dan manajemen konflik. Itu dibuat kelas-kelas kecil jadi kami bisa fokus satu topik dulu sebelum mempelajari topik yang lain. Namun, tiap topik itu kami buat kuliah Telegram dari peserta yang ahli/pengalaman dengan topik tersebut. Alhamdulillah ada peserta yang memang psikolog/pernah ikut training jadi bisa berbagi ilmu dan cukup dalam untuk kami pelajari. Jadi inti alasannya:
1. Materi sesuai kebutuhan
2. Ada kelas-kelas kecil sesuai topik sehingga lebih fokus dan intim diskusi dalam grup kecil
3. Ada pembahasan dari ahli/pengalaman di grup besar
4. Ada resume di channel Telegram
5. Manajemen grup cukup rapi dengan pengurus yang kompak dan peserta yang aktif.

Helmiati Sirajuddin, IP Sulawesi: Di keluarga Parenting sharing-nya tema-tema yang sering dihadapi ibu-ibu dalam proses pengasuhan sehari-hari.
Misal: komunikasi efektif dengan anak, bagaimana menghadapi persiapan aqil baligh pada anak, parenting Nabawiyah, sibling rivalry, tips berkisah pada anak, dan banyak lagi subtema dalam keluarga kami. Dipermudah dengan membuat grup FB dan masing-masing subtema dibuatkan unit tersendiri sehingga pembahasan dan diskusi ataupun info-info tentang masing-masing tema tidak saling tumpang tindih.

Nurita, IP Bandung: Karena merasa PR tentang emosi diobati di Keluarga Manajemen Emosi, kenal teman-teman “senasib” sehingga tidak merasa sendirian. Yang penting beberapa ilmu seperti healing inner child dan sadar nafas benar-benar bisa dipraktikkan dan mengurangi intensitas marah saya.

Rati Rahmawati, IP Sulteng: Karena anggota keluarga Desain ini ramah-ramah. Untuk orang kurang PD seperti saya, diterima dengan baik di suatu grup itu sangat berkesan. Saya juga jadi bisa tahu aplikasi mendesain lewat HP dan cara belajar doodle bagi pemula, sesuai makanan saya.

Siwi Aryani Ratu Rahmi, IP Yogyakarta: Karena Cooking sesuai mind map, karena hanya berada di dapur itu sudah bahagiaa banget, apalagi kalau beraktivitas. Istana adalah tempatku cari ilmu, tips dan trik untuk nambah jam terbang masak.

Wah, berwarna-warni sekali, ya, pengalaman teman-teman. Bikin tergoda buat mampir juga, tapiii, nanti ulat saya kekenyangan :D.

#Janganlupabahagia
#Jurnalminggu5
#Materi5
#Kelasulat
#Bundacekatan
#Buncekbatch1
#BuncekIIP
#Institutibuprofesional

2 thoughts on “Jurnal Ulat-ulat 5 Bunda Cekatan: Berkemah Bersama

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s