Jika pada pekan sebelumnya para mahasiswi Bunda Cekatan diminta mempresentasikan apa yang telah diketahui, sambil mencicipi sajian dari teman-teman lainnya, kini kami diminta membentuk keluarga. Ada berbagai tema (banyak sekali!) yang bisa dipilih sesuai dengan mind map awal. Saya sendiri sempat galau mau memilih yang benar-benar selaras dengan mind map yang sedang saya buat, yaitu blogging, atau yang lain dulu. Mind map saya selengkapnya bisa dilihat di sini.
Saya semacam merasa bersalah saja ketika tiba-tiba memilih sesuatu yang memang saya minati, alih-alih apa yang sesungguhnya bisa dibilang lebih penting dan mendesak. Soal komunikasi dalam keluarga, manajemen emosi, dan lebih-lebih lagi manajemen waktu, jelas saya belum “lulus”.
Memang, kalau kata Bu Septi pada kelas terdahulu lebih kurangnya begini: Ibu yang bahagia akan memancarkan kebahagiaannya sehingga seisi rumah juga ikut bahagia menjalani apa pun aktivitasnya, bahkan meskipun bidang yang ditekuni ini terkesan “egois”. Pastinya dengan catatan jangan sampai ada yang “terzalimi”, tambah Bu Septi saat itu. Nah, supaya tidak ada yang terzalimi, harusnya saya menuntaskan pelajaran manajemen waktu dulu, bukan?
Namun, saya memantapkan diri untuk tetap masuk ke grup keluarga blogging. Toh, katanya ke depannya boleh, kok, pindah keluarga jika memang dirasa perlu. Tepatnya, judul yang diambil oleh grup keluarga yang saya ikuti ini adalah Web-Blog-SEO Family BunCek.
Mbak Marita Ningtyas kemudian mengusulkan nama WeBS sebagai akronim dari Web – Blog – SEO. Penulisan W-B-S nya sengaja dengan huruf kapital sebagai bentuk subtopik di keluarga ini. Webs dalam bahasa Inggris juga memiliki arti jaring, cocok dengan tuntutan sebagai praktisi di dunia web dan blog yang membuat kita harus senantiasa berjejaring.
Grup tersebut saat ini masih beranggotakan dua puluh orang. Kalau berdasarkan cerita salah satu anggota, grup lain ada yang anggotanya jauh lebih banyak dan ini mempengaruhi suasana belajar. Pastinya mau sedikit atau banyak anggota suatu grup akan selalu ada tantangannya masing-masing, ya. Akan tetapi, sepertinya grup dengan anggota yang tidak terlampau banyak ini memang cocok untuk saya.
Sedari awal, anggota keluarga ini sudah diminta membuat daftar fokus ilmu apa yang diperlukan. Berbeda-beda tentunya. Ada yang ingin meningkatkan kualitas konten, ada pula yang sudah mematok perlu meningkatkan keterampilan di bidang search engine optimization alias SEO.
Saya sendiri sempat mengikuti beberapa sesi pelatihan (sangat) singkat terkait SEO, ceritanya pernah saya tuliskan di sini (dengan DigitalFinger dari Proxsis) dan di sini (dengan Mbak Shintaries dan Mbak Nunik Utami).
Alhamdulillah juga, baru di hari-hari awal saya sudah langsung mendapatkan penegasan atas “prinsip” blogging yang saya anut selama ini. Kebiasaan saya menyertakan banyak tautan referensi memang “berbahaya” dari segi SEO, karena bisa menjatuhkan nilai blog saya di mata mesin pencari. Seharusnya, satu-dua tautan eksternal yang nofollow cukup, dan imbangi atau perbanyak tautan internal.
Kalaupun merasa harus mencantumkan sumber, sebaiknya ditulis namanya saja, jangan dalam bentuk tautan. Tautan ke luar membuat mesin pencari tidak tuntas meng-crawl blog kita. Pengunjung pun bisa teralihkan perhatiannya, dan segera berpindah ke halaman eksternal (rujukan yang dicantumkan tautannya) tersebut ketimbang betah berlama-lama di blog kita.
Seperti kata Mbak Rahmah, “Yaa salah satu yang bikin performa blog juga kurang bagus karena link keluar itu juga kalau terlalu banyak, blog kita belum sempat di-crawling sempurna, robot search engine sudah keluar menelusuri link ke luar tadi”.
Namun, saya pribadi berpikir bahwa pencantuman tautan secara lengkap adalah cara saya menjalankan adab terhadap sumber ilmu. Ibu Profesional senantiasa mengedapankan adab, bukan? Rasanya masih lebih mantap kalau tautan aslinya, karena bisa langsung lihat situsnya betulan mencantumkan seperti itu, bukan saya yang “ngarang”.
Ambil contoh postingan saya tentang mitos “sugar rush” yang bisa dibaca di sini. Kalau saya cuma menyebutkan, “Saya pernah baca bahwa sugar rush itu sebenarnya cuma mitos, kok”, kesannya kok kurang kredibel, ya. Apalagi, mitos anak jadi lebih aktif kalau kebanyakan makan gula ini sampai sekarang banyak dipercaya ibu-ibu, bahkan kalangan medis pun masih ada yang setuju.
Begitu juga dengan postingan imunisasi anak saat batuk pilek yang bisa dibaca di sini. Tentunya ketika saya menulis hal yang berbeda dengan sesuatu yang masih banyak dipercayai oleh masyarakat, perlu dukungan bukti bahwa saya tidak salah ingat dan tidak asal menyimpulkan dari bahan bacaan yang valid. Saya bisa saja mencukupkan diri dengan menuliskan, “Menurut CDC, IDAI, dan Kemenkes, enggak apa-apa, kok, tetap imunisasi waktu anak lagi batpil.” Namun, mungkin pembaca akan bertanya-tanya, apa iya?
Ya, di mata sebagian orang, kredibilitas blog memang belum terlalu tinggi nilainya. Blog identik dengan pandangan pribadi yang bisa saja sangat subjektif. Pikir saya, pencantuman sumber yang jelas beserta tautannya bisa membuktikan bahwa saya tidak asal menulis. Sekaligus biar pembaca juga bisa belajar langsung di sumber aslinya kalau memang tertarik mendalami. Bahkan, siapa tahu saya salah menerjemahkan atau salah menangkap, justru agar bisa dikoreksi oleh pembaca.
Kadang saya juga menemukan tulisan lain yang bertentangan dengan tulisan yang pernah saya buat. Untuk meyakinkan diri, saya merasa perlu mengunjungi ulang jurnal yang pernah saya kutip, sekadar memastikan saya tidak salah tangkap. Dengan memberikan tautan pada bagian akhir, saya jadi lebih mudah mengunjungi sumber ilmu aslinya kembali.
Setidaknya, prinsip SEO saya coba jalankan dengan menaruh tautan-tautan sumber tersebut di bagian bawah, bukan menyebar apalagi di awal. Yang saya taruh menyebar adalah tautan internal. Tautan eksternal pun memang saya pilih yang berkualitas, bukan semata demi SEO melainkan juga karena sudah seharusnya demikian ketika kita menyajikan informasi, bukan? Karena saya suka menulis tentang kesehatan keluarga, maka saya acapkali mencantumkan tautan dari IDAI, Kemenkes, CDC, WHO, NHS, Mayoclinic, AAP, Kidshealth, dan jurnal-jurnal ilmiah terkait. Minimal banget saya berikan tautan dari situs berita yang cukup tepercaya. Semua ini tidak cukup sebenarnya, karena tetap ada peluang menjatuhkan “nilai” blog. Fatal malah, kalau di mata pakar yang memang mendalami SEO.
Saya juga tertarik menerapkan sebagaimana penjelasan Mbak Marita: banyak plugin SEO yang bisa di-install, setiap kali mau publish kita bisa cek dulu berapa nilai SEO artikel tersebut. Misalnya plugin Yoast atau Ranking Math. Dengan plugin ini, kalau kita menulis artikel bisa langsung ada informasi nilai SEO-nya berapa. Plugin ini akan memberikan saran juga, bagian mana yang harus diperbaiki. Misalnya ternyata judul belum ada keyword-nya, URL belum ada keyword-nya, foto di title & alt belum ada keyword-nya, judul terlalu panjang, meta deskripsi terlalu pendek, belum ada link eksternal dan internal, dsb.
Mbak Rahmah juga sempat memberi inspirasi: kalau mau cari keyword bisa pakai Ubersuggest. Hanya saja, saya jadinya terpikir, cukup telaten tidak, ya, menerapkan semua itu? Kalau merasa kewalahan, terlebih dari segi waktu, apa jangan-jangan memang saya seharusnya mendahulukan masuk keluarga manajemen waktu dulu?
Jadi, saya mau lanjut mendalami SEO (dengan risiko perlu menata hati dulu karena saya merasa seperti “melangkahi”/tidak memberikan penghormatan yang layak kepada sumber ilmu) atau tidak?
Cita-citanya, sih, dengan SEO yang mantap, semoga blog saya bisa memperoleh posisi yang bagus di mesin pencari, lalu makin banyak yang bisa terbantu dengan informasi yang saya tuliskan. Habisnya, geregetan hoax banyak bertebaran. Ada juga tulisan pengalaman yang tidak diimbangi dengan pemuatan informasi tata laksana dasar seharusnya bagaimana, yang khawatirnya menjerumuskan pembaca.
Saya sendiri masih jauh dari sempurna, pastinya. Namun, saya ingin mengumpulkan dan mengikat ilmu yang sudah saya peroleh dengan menuliskannya di blog. Makanya daripada saya gemes doang, akhirnya saya menulis. Perkara beneran diambil sebagai bahan pertimbangan atau tidak oleh pembaca, ya, minimal saya bisa membantu menyediakan informasi yang lebih lengkap dulu, deh.
Kalau kata Mbak Susi Susindra yang memang Master SEO, “Ya… Bebas saja, tapi. Ngeblog itu yang penting bahagia. Jadi ya subyektif juga sih.”
Tuh, kan, jadi galau lagi, hehehe.Untuk saat ini, saya masih bahagia dengan kondisi sekarang :). Sambil lanjut belajar dulu, apalagi topik di keluarga ini bukan hanya SEO, boleh, lah, yaa… Sambil sabar menanti jadwal berbagi para perwakilan keluarga dengan beragam topik di grup FB.
#Janganlupabahagia
#Jurnalminggu3
#Materi3
#Kelasulat
#Bundacekatan
#Buncekbatch1
#BuncekIIP
#Institutibuprofesional
Makasih sudah menulisnya, lengkap banget dan tergambar diskusi di keuarga WeBS ini, aku jadi makin penasaran.
Ditunggu Mbaak berbagi ilmunya. Mbak Naqi mah udah canggih pakai banget, ma sya Allah.
Pingback: Jurnal Ulat-ulat 5 Bunda Cekatan: Berkemah Bersama | Leila's Blog