Bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan berbagai keunikan masing-masing, itu cukup saya pahami. Bagaimana memberikan pengertian ke anak terkait hal tersebut adalah suatu PR lain yang belum usai. Anak-anak cepat atau lambat akan menyaksikan dan bersentuhan dengan keberagaman di masyarakat. Kendati fitrah anak-anak adalah penuh kasih sayang, tetapi sudahkah mereka dibekali dengan benar bagaimana cara bergaul dan memperlakukan orang lain yang mungkin berbeda secara fisik? Terus terang, kalimat yang paling mudah dilontarkan adalah, “Kasihan ya… makanya kamu harus bersyukur.” Namun, apakah sesederhana itu? Benarkah penyandang kelainan langka atau rare disorders, juga keluarganya, adalah insan yang patut menerima pandangan iba?
Saya sendiri pada awalnya mengenal kelainan langka sebagai ‘sekadar’ salah satu kondisi kesehatan yang berbeda dari biasa. Belakangan saya baru tahu, sebagaimana namanya, kondisi yang satu ini ditandai dengan angka keterjadiannya yang kecil. Yang belum teridentifikasi pun ada. Saya kutip dari web resmi Indonesia Rare Disorders,
Suatu kelainan atau penyakit dikategorikan langka jika angka kejadiannya adalah 1 : 2.000 atau lebih. Saat ini ada sekitar 6.000 – 8.000 jenis kelainan langka yang telah teridentifikasi, dan jumlah ini terus bertambah setiap minggunya.
Sekarang mari kita berhitung. Jika populasi Indonesia diperkirakan sebanyak 250.000.000 orang, maka ada sekitar 125.000 orang yang menyandang rare disorder, ini jika angka kejadiannya adalah 1 : 2.000. Ini baru perhitungan jumlah maksimal dari 1 jenis kelainan/penyakit, sementara yang sudah teridentifikasi saja ada sekitar 6.000 – 8.000 jenis, maka jumlahnya sekitar 75.000.000 – 100.000.000 orang atau sekitar 30 – 40% dari total jumlah penduduk. Angka ini bisa lebih kecil karena yang digunakan adalah prevalensi terendah yaitu 1 : 2.000, semakin langka maka tentu saja jumlah penyandangnya akan semakin sedikit, namun bagaimanapun, ini bukanlah jumlah sedikit, bukan hal sepele yang bisa begitu saja diabaikan, apalagi rare disorders ikut menyumbang sekitar 35% angka kematian anak usia di bawah 1 tahun.
Karena langkanya itulah, banyak saya rasa yang belum mengetahui adanya sindrom seperti Cornelia de Lange, Treacher Collins, Pierre Robin Sequence, dan seterusnya. Media massa ada sih yang memberitakan atau mengangkat cerita penyandang kelainan langka, tapi jujur saja, seringkali nama kondisi tersebut singgah sejenak saja di ingatan, apalagi kebanyakan istilah yang digukanan berbahasa asing. Namun, dari yang sedikit itu pun saya rasa cukup turut andil menggugah perhatian pembaca. Siapa tahu ada kenalan pembaca yang punya ciri-ciri atau gejala serupa, lantas pembaca tersebut jadi bisa menyarankan kenalannya untuk mencari tahu lebih jauh dengan lebih terarah atau menganjurkan ke tenaga kesehatan yang tepat. Sebab sebagaimana yang saya ketahui belakangan, terkadang tenaga medis pun tidak mengetahui kondisi rare disorders tertentu kecuali aktif mencari tahu atau bertanya ke sejawat yang lebih berpengalaman, saking langkanya. Belum lagi, kadang kondisi fisik yang berbeda kadang dianggap ‘aib’ yang mesti ditutupi, rawan dihinggapi mitos tak logis, sampai-sampai bisa jadi akibat begitu malu atau tertekannya (bahkan mungkin ada penyangkalan) hingga tidak ada bayangan untuk mencari bantuan (support group, terapi, bahkan mendapatkan diagnosis) yang pas.
Maka kehadiran komunitas Indonesia Rare Disorder saya rasa sangat baik untuk meingkatkan kepedulian masyarakat, juga memberdayakan penyandang dan keluarganya. Awalnya saya kenal dengan mba Wynanda B.S. Wibowo melalui grup pendukung ASI, Tambah ASI Tambah Cinta (TATC). Tahun 2014 mba Wyn melahirkan anak kedua, Kirana, yang mendapatkan diagnosis Pierre Robin Sequence. Dasarnya saya suka kepo, saya pun kadang menyempatkan searching soal sindrom/sequence tersebut, meski pengetahuan saya tentunya tetap jauh tertinggal dari mba Wyn yang saya kenal begitu gigih. Rangkaian konsultasi, pemeriksaan, dan tindakan yang harus dihadapi Kirana cukup banyak dan itu pun masih menyisakan banyak pertanyaan hingga kini. Dari pengalamannya itulah mba Wyn lalu bergerak bersama beberapa orang teman, mendirikan komunitas IRD. Dengan motto “Langka, Nyata, Berdaya” yang juga tampil disimbolkan lewat penyu nan lucu, para orangtua dan penyandang IRD saling mendukung dan mengadakan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan sesama orangtua maupun masyarakat pada umumnya. Di antara informasi yang saya peroleh dari mengikuti (kendati tidak intens sekali) aktivitas komunitas tersebut adalah fakta bahwa kelainan genetika tidak selalu diturunkan dari generasi sebelumnya dan tidak selalu menurun ke generasi berikutnya.
Salah satu kegiatan komunitas IRD yang saya hadiri adalah acara talk show di Casa Grande Residence, Jakarta, pada tanggal 7 Agustus lalu. Materinya mencakup tentang Optimalisasi Kualitas Hidup Bayi Prematur oleh dr. Agung Zentyo Wibowo, B.Med.Sc. yang juga founder Komunitas Prematur Indonesia, Pentingnya Menjaga Kesehatan Mulut dan Gigi Sejak Dini oleh drg. Lila Susanti, Sp. KGA (dokter gigi spesialis anak), dan Memahami Gangguan Makan dan Gangguan Pertumbuhan pada Anak oleh dr. Wiyarni Pambudi, Sp.A., IBCLC. Penampilan Alafta Hirzi “Zizi” Sodiq, penyandang tunanetra akibat ROP (retinopathy of prematurity) berusia 8 tahun yang piawai memainkan piano (belajarnya otodidak, lho) sambil bernyanyi dengan suara merdu mau tak mau membuat saya berkaca-kaca… bukan apa-apa, saya jadi ingat papa yang selama beberapa tahun terakhir hidup beliau juga kehilangan penglihatan walau karena sebab yang berbeda dengan Zizi.
Apa yang disajikan oleh para pembicara dalam talk show tersebut amat menambah wawasan (kalau mau baca juga presentasinya, bisa ke web IRD). Saat menghadiri acara tersebut saya mengajak serta seluruh anggota keluarga: suami dan anak-anak (Fathia 4,5 tahun dan Fahira 1,5 tahun). Alasan saya membawa anak-anak, pertama karena tak ingin kehilangan momen kebersamaan di akhir pekan sembari tetap ikhtiar memperluas wawasan. Juga agar mereka berinteraksi langsung dengan teman-teman penyandang IRD. Kenyataannya sih 2F malu-malu bergabung dengan anak-anak lain, lebih sering main berdua atau bergelayutan pada kami. Tapi setidaknya mereka bisa melihat teman-teman istimewa yang dengan seru main bersama. Sebelumnya Fathia memang pernah saya ajak juga ke acara talk show grup TATC di mana ia untuk pertama kalinya bertemu dengan mba Wyn dan mba Yola Tsagia (founder IRD juga) dengan putrinya Odil. Fathia juga pernah saya ajak menonton acara televisi yang menampilkan keluarga mba Wyn dan mba Yola dengan tema Mari Mengenal Rare Disorders, serta ikut menyimak artikel majalah yang memuat mereka yang sengaja saya beli.
Muncul pertanyaan dari putri kecil saya, pastinya. Kenapa wajahnya begitu, kenapa harus pakai alat itu, kenapa jalannya gitu? Hasil silent reader saya di grup membantu saya memilih kata yang tepat untuk disampaikan kepadanya. Penyandang IRD dan keluarganya bukan mengiba belas kasihan, mereka justru mencontohkan sesuatu. Tuhan tentu memberikan kondisi spesial pada ciptaan-Nya yang istimewa dan dikelilingi orang-orang istimewa pula. Bahkan dengan mengesampingkan kondisi psikis yang mungkin terpantik akibat pandangan miring pun, masih tetap banyak tenaga, waktu, bahkan biaya yang perlu dikeluarkan untuk sesi pemeriksaan jasmani, tes lab, terapi khusus, diet tidak biasa, obat, dan alat bantu. Pendeknya, perlu semangat juang yang kuat. Semangat itulah yang patut diteladani. Kalaupun memang penyandang IRD perlu perlakuan atau fasilitas khusus, itu tak lepas dari hak tiap manusia mendapatkan kenyamanan mendasar yang toh tidak sampai mengganggu hak orang lain dan naluri serta kewajiban manusia juga untuk saling menolong. Selain itu, yang saya tanamkan juga adalah kebutuhan, bukan hanya keharusan, untuk mensyukuri segala kondisi.
Selamat ulang tahun IRD, semoga makin berkah dan menyebar manfaat :).
(Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba “IRD Awareness Writing Contest: Mari Mengenal Rare Disorders”)
#IRDAwarenessMonth #MariMengenalRareDisorders #IndonesiaRareDisorders