[Kliping] Seputar Puyer

Dari kliping yang saya posting sebagai materi Mabes TATC beberapa tahun yang lalu

[MABES TATC, Mari Belajar Sama-sama, Tambah ASI Tambah Cinta]
Pagi Bunda (dan Ayah juga), kali ini saya ingin berbagi informasi mengenai puyer. Mengapa di TATC seringkali ada yang menyarankan lebih baik jangan pakai puyer? Penjelasannya bisa Bunda/Ayah temukan di sini :).
Menyikapi Obat Puyer
Definisi penggunaan obat yang rasional (Rational Use of Medicine / RUM) oleh WHO secara jelas mensyaratkan 5 poin yang harus dipenuhi dalam peresepan/penggunaan obat, yaitu:

1. Tepat pasien

2. Tepat indikasi

3. Tepat obat

4. Tepat cara pemberian obat, frekuensi, dan lama pemberian obat

5. Tepat biaya.

Sedangkan penggunaan obat yang tidak rasional (Irrational Use of Drug/IRUD) ditandai dengan ciri-ciri:

1. Tidak ada atau kecil kemungkinan untuk memberikan manfaat.

2. Kemungkinan efek samping lebih besar dari manfaat.

3. Biaya terapi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh.

WHO mencatat Polifarmasi adalah salah satu bentuk penggunaan obat tidak rasional/IRUD yang paling sering terjadi. Polifarmasi adalah penggunaan obat lebih dari 3 jenis obat untuk satu pasien.
Puyer Pintu Gerbang Polifarmasi
Puyer adalah bentuk polifarmasi yang paling sering terjadi dalam peresepan obat-obat untuk pasien anak karena obat puyer biasanya mengandung 2 – 5 jenis obat. Obat puyer banyak diresepkan untuk terapi penyakit-penyakit yang umum diderita bayi dan anak seperti batuk pilek dan diare.
Beberapa alasan dokter menuliskan resep puyer:

1. Tidak ada produk obat jadi di pasaran yang komposisi obatnya seperti yang diinginkan. Ujung-ujungnya adalah praktek polifarmasi.

2. Menyesuaikan dosis dengan berat badan anak.

3. Terbatasnya produk tetes dan sirup yang diproduksi oleh pabrik obat.

4. Biaya terapi lebih murah.
Yang perlu dicermati dalam peresepan puyer adalah, apakah pasien bayi dan anak memang sungguh-sungguh memerlukan kombinasi obat yang dipuyerkan, yaitu  hingga 3 – 5 jenis obat, bahkan tak jarang hingga 7 obat? Tidak jarang dokter justru mencampur obat yang hanya diperlukan untuk mengurangi gejala (simpomatik) dengan obat yang menjadi penyebab penyakit (kausal). Padahal ada perbedaan signifikan dalam lama pemberian obat simptomatik dan obat kausal. Obat yang dipakai untuk meredakan gejala cukup diminum hingga gejala berkurang. Sedangkan obat untuk penyebab penyakit misalnya antibiotik harus diminum dalam jangka waktu tertentu (misalnya 3 – 5 hari atau hingga obat habis).
Misalnya untuk kasus batuk pilek pada anak, dokter mencampur dalam satu puyer, obat penyebab penyakit seperti antibiotik dengan beberapa obat pereda gejala seperti:

1. Parasetamol: antipiretik/untuk menurunkan demam

2. Pseudoefedrin: dekongestan/pelega hidung tersumbat

3. Gliseril guaiakolat (GG): ekspektoran, memudahkan pengeluaran dahak

4. Chlorpheniramine (CTM) : antialergi

5. Kortikosteroid: untuk mengurangi peradangan

6. Luminal: obat penenang.

Jika seluruh obat untuk atasi gejala tersebut dicampur dengan obat antibiotik, maka aturan pakai dan lama pemakaian obat akan mengikuti aturan pakai antibiotik, yaitu digunakan selama 3 – 5 hari. Padahal, belum tentu gejala batuk pilek yang dialami si bayi berlangsung hingga 3 – 5 hari. Apakah bayi akan terus menerus mengalami demam selama 3-5 hari sehingga harus terus meminum parasetamol? Belum tentu! Bagaimana jika demam hanya berlangsung di hari pertama sakit, tapi parasetamol masih terus diminum selama 5 hari ke depan karena kadung dicampur dengan antibiotik? Tentu saja bayi dan anak yang paling dirugikan karena harus meminum obat-obat yang tidak perlu. Memperberat kerja hati dan ginjal, meningkatkan insiden efek samping obat dan tentu saja pemborosan biaya terapi. Inilah yang akhirnya menyebabkan penggunaan puyer menjadi tidak rasional. Selain itu perlu juga dipertanyakan efektivitas penggunaan 3 – 5 jenis obat simptomatik. Apakah memang perlu seluruh gejala yang dirasakan anak diatasi dengan obat?
Cermati Kualitas Puyer

Dari segi kualitas, obat puyer juga punya banyak kelemahan di mana kualitas dan keamanannya tidak terjamin. Meskipun ada kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilakukan apotek dalam menyiapkan obat puyer, tetapi tetap saja tidak menjamin sepenuhnya kualitas dan keamanan obat puyer. Berbeda dengan obat buatan pabrik, produsen obat diwajibkan oleh pemerintah memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) pada setiap produk obat yang dijual. CPOB dimulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga proses quality control. Kondisi ruangan pun sangat terkontrol, baik kelembabannya, jumlah partikel, kebersihan, dll. CPOB menjamin obat layak dikonsumsi dari segi kualitas dan keamanannya.
Kekurangan obat puyer dari segi kualitas obat meliputi:

1.Rusaknya obat akibat proses penggerusan. Seringkali pemilihan obat yang akan dicampur dalam puyer tidak memperhatikan aspek sifat fisika kimia obat. Misalnya, meracik obat yang disalut, obat lepas lambat, obat yang tidak stabil atau obat yang sifatnya higroskopis (menyerap air). Padahal proses penyalutan obat dan teknologi lepas lambat, punya tujuan tertentu, misalnya obat disalut karena tidak stabil dalam udara, obat mengiritasi saluran cerna, dan lain sebagainya. Jika obat-obat yang disalut kemudian diracik, itu sama artinya dengan merusak kualitas obat itu sendiri. Padahal harga obat yang dibayar pasien sudah termasuk harga teknologi penyalutan obat. Tapi kualitas obat yang diterima pasien, tidak sesuai dengan harga yang dibayar.

2. Dapat terjadi interaksi akibat pencampuran obat secara fisik. Pencampuran obat secara fisik dalam mortar dapat menimbulkan interaksi kimia fisika dari masing-masing bahan obat, yang kemungkinan besar tidak disadari oleh dokter yang meresepkan maupun Apoteker dan Asisten Apoteker yang menyiapkan puyer karena minimnya pengetahuan mengenai bahan baku obat (yang memang bukan kompetensi mereka, melainkan kompetensi apoteker yang bekerja di pabrik obat).

3. Kontaminasi oleh obat lain. Mortar terbuat dari bahan yang memiliki pori, sehingga besar kemungkinan banyak bahan obat yang terjebak dalam pori-pori mortar. Meskipun mortar sering dicuci, tidak menjamin bahan obat lain yang terjebak dalam pori-pori mortar tidak ikut tercampur dengan obat puyer yang sedang disiapkan. Apalagi jika apotek hanya menggunakan satu – dua mortar untuk segala macam obat yang dibuat puyer dan tidak menyiapkan mortar khusus untuk obat-obat yang seharusnya tidak boleh dicampur pembuatannya dengan obat lain, seperti obat-obat antibiotik betalaktam dan produk hormon. Di pabrik, hal ini tidak akan terjadi karena CPOB mensyaratkan kedua obat tersebut dibuat di fasilitas produksi yang terpisah dengan fasilitas produksi obat golongan lain.

4. Tidak Homogen. Kemungkinan obat yang dicampur tidak homogen dapat saja terjadi terutama jika obat yang digerus seluruhnya berwarna putih. Obat yang tidak homogen sangat berpengaruh pada ketepatan dosis dan efek terapi yang diharapkan.

5. Stabilitas obat tidak dapat dijamin. Selain obat sudah rusak duluan akibat penggerusan, penyimpanan obat dalam kertas pembungkus juga tidak dapat menjamin sepenuhnya obat akan stabil selama penyimpanan. Karenanya, sebaiknya obat puyer tidak disimpan untuk dipakai lagi kemudian hari. Berbeda sekali dengan obat buatan pabrik. Di pabrik obat, obat jadi wajib memenuhi uji stabilitas selama 3 – 6 bulan sebelum obat dipasarkan. Uji stabilitas ini yang menjadi dasar penetapan umur obat (shelf life).

Dosis Puyer Lebih Tepat, Benarkah?

Meskipun dengan puyer, dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak, tapi ketepatan pemberian dosis melalui puyer sebenarnya juga patut dipertanyakan. Kok bisa? Yup, karena pada saat puyer hasil racikan akan dibagikan di kertas pembungkus, kenyataannya serbuk tidak ditimbang terlebih dahulu. Ketepatan pembagian obat puyer hanya berdasarkan evaluasi visual asisten apoteker. Belum lagi jika pencampuran obat tidak homogen yang membuat jumlah obat dan dosis dalam tiap bungkus puyer tidak sama.
Sumber: http://sobatobat.blogspot.com. Lebih lengkap bisa disimak di http://puyer.wordpress.com.
Tambahan catatan dari dokter anak saya:

****bila diresepkan puyer:****

1. tanyakan diagnosis pasti dan penyebab, bila infeksi virus tidak perlu diberi obat kecuali penurun panas jika perlu.

2. bila ternyata butuh obat misalkan antibiotik untuk infeksi bakteri dan butuh pula penurun panas, mintalah resep obat terpisah bukan dalam bentuk puyer. Bila terpaksa harus dalam sediaan puyer, mintalah puyer terpisah untuk setiap satu jenis obat.

3. selalu tanyakan obat yang diberikan, termasuk kandungan obat, nama generik, efek samping/reaksi obat, cara penggunaan dan penyimpanan.

4. jangan lupa untuk minta dibuatkan copy resep.

 

 

=================

Tentu ada yang kontra, ya. Alasan kepraktisan sering dikemukakan. Salah satunya datang dari seorang akwan yang anaknya berkebutuhan khusus, bentuk puyer menurutnya lebih mudah untuk diberikan ke anak apalagi kalau obatnya ada banyak jenis. Nah, biar ‘berimbang’ (walaupun saya lebih cenderung ke tulisan di atas untuk kehati-hatian yang beralasan), berikut tanggapan dari dokter lain saat pro kontra puyer mengemuka di tahun 2009 (karena dibuatkan laporan khususnya oleh RCTI waktu itu): http://news.okezone.com/read/2009/02/13/1/192600/perdebatan-soal-puyer-tidak-pada-substansinya. Salah satu yang disiratkan di situ adalah, kalau memang segitu berbahaya, ke mana WHO sebagai badan kesehatan dunia?

Ternyata pada tahun 2011 WHO mengeluarkan publikasi Indonesia Pharmaceuticals in Health Care Delivery – Mission Report 10 – 23 July 2011 yang dilaporkan oleh Kathleen A Holloway, Regional Advisor in Essential Drugs and Other Medicines, World Health Organization, Regional Office for South East Asia, New Delhi, dan puyer disebut-sebut di situ. Lengkapnya di sini http://www.searo.who.int/entity/medicines/indonesia_situational_analysis.pdf., sebagian saya kutip sebagai berikut:

Prescribing data from MOH in 2010 showed serious polypharmacy and high use of antibiotics. The consultant undertook a rapid prescription survey and also found polypharmacy and high use of antibiotics, vitamins and steroids. At the primary care level most drugs were prescribed by generic name and belonged to the EML, but in hospitals and the private sector few drugs belonged to the EML and most were prescribed by brand name. Puyer is a common unsafe practice observed in all facilities, where different drugs are mixed together, pulverized and then the powder divided into separate doses by eye. There are national standard treatment guidelines for puskesmas (PHCs) but they are not used much by doctors. All hospitals are mandated to have a Drug & Therapeutics Committee, but most of them function poorly and are only involved in development and printing of the hospital formulary.
Continuing medical education (CME) is adhoc mainly consisting of lectures arranged by the local medical association and sponsored by the pharmaceutical industry. The medical council has introduced a CME credit system in which 250 points are needed every 5 years for relicensing but points can be gained without learning anything about prescribing. The Directorate of Pharmaceutical Services undertakes prescription monitoring in the puskesmas, training of pharmacists in good pharmaceutical care and a community empowerment program. However, there appears to be no active program to promote rational use of medicines targeted at doctors, who are the main
perpetrators of irrational prescriptions.

……

The practice of puyer is where 2 or more (often 5-10) different prescribed drugs (the number of tablets varying according to the number of drugs and the amount of each drug prescribed), are pulverized together into a powder and then allocated into a number of doses, packaged separately, by eye. This practice was observed in all facilities. Sometimes a pestle and mortar was used and sometimes a food mixer. The food mixer was wiped with a dry cloth between making different puyers in one puskesmas. Irrational fixed-dose combination products were also frequently used.
Box 1 shows examples of puyers and irrational fixed-dose combination products that were observed to be used.
None of the prescribing doctors met in the puskesmas or district hospitals felt that puyer was unsafe or ineffective. None seemed to know of the effort made by manufacturing companies to ensure bioavailability of fixed-dose combination products or that puyer ignores good manufacturing practices. In addition, many irrational fixed-dose combination products on the market were highly popular. All the prescribing observed was done by doctors. However, it was mentioned by the MOH that in remote parts of Indonesia, prescribing is done by paramedical staff and nurses.

 

Itu data tahun 2011 ya, sementara belum nemu yang lebih baru. Tapi yang jelas, praktik puyer ini masih jalan hingga saat ini di kota besar, baru saja saya baca seorang teman yang tinggal di Jakarta bilang bahwa dokter anak-anaknya selalu meresepkan puyer untuk penyakit common problems. Saya pun bukan tak pernah dikasih puyer untuk anak, hanya saja sebetulnya di resep tidak ada instruksi untuk menghaluskan (karena dokter yang meresepkan jelas-jelas aktif berkampanye tolak puyer pada masanya), apoteker di apoteknya saja yang berinisiatif membuatnya jadi puyer (+gula tentunya) karena tahu ini untuk anak-anak.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s