(Bukan) Critical Eleven

Novel Critical Eleven yang ditulis oleh Ika Natassa baru saya baca pada awal tahun ini. Agak terlambat sih ya memang. Tak banyak yang saya ketahui tentang isinya sebelum membaca buku tersebut, selain bahwa pengarangnya terkenal suka menulis cerita romantis yang bikin baper. Malah, saya kira angka sebelas pada judulnya merujuk pada sebelas tahun pernikahan dengan segala romantikanya hingga mencapai titik kritis. Ternyata saya salah besar. Yang dimaksud critical eleven di sini adalah sebelas menit kritis pada awal penerbangan, yang dihubungkan dengan permulaan perkenalan kedua tokoh utama dalam novel yang sudah difilmkan ini. Saya aja yang ge-er, gara-gara tahun ini pernikahan saya dan suami memang menginjak tahun kesebelas.

Kami tidak berjumpa untuk pertama kalinya di atas pesawat, tentu saja. Dua belas tahun yang lalu, saya adalah pegawai magang setelah lulus dari sebuah kampus kedinasan milik suatu kementerian, atau sekarang biasanya diistilahkan dengan on job training. Berbeda dengan generasi belakangan ini yang magangnya dijadwalkan berpindah-pindah unit secara bergantian dengan maksud lebih menguasai beragam jenis pekerjaan sebelum ditugaskan definitif sebagai pegawai negeri sipil, saat itu angkatan saya magang selama setahun lebih sedikit di tempat (masing-masing) yang tetap.

Continue reading

Tips Rumah Tangga dari Filosofi Kue Pancong

Sabtu lalu saya ikut menyimak sesi berbagi sekaligus bedah buku singkat karya mba Diany Pranata, Founder Belladonna Group sekaligus Professional Coach Family & Relationship.  Tema besarnya mengambil dari judul dua buku yang ia tulis, yaitu Filosofi Kue Pancong, Berbagi Kisah Nyata: 100+ Tips Melewati Riak Gelombang (Menuju) Kehidupan Rumah Tangga Sakinah dan Langgeng.

Mba Diany menyebutkan bahwa awalnya buku ini idenya muncul setelah melihat banyak perceraian terjadi. Mba Diany prihatin karena biasanya anaklah yang menjadi korban. Bukan hanya korban perasaan, tetapi juga kadang bisa merembet ke masalah lain seperti narkoba yang merusak diri dan bangsa. Padahal seharusnya pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Bukan bermaksud ingin menghilangkan perceraian 100%, tapi jadikan itu benar-benar jalan keluar terakhir, tekannya. Judulnya terinspirasi dari kue pancong yang merakyat dan bisa dibagi-bagi, melambangkan kisah-kisah sederhana dalam buku yang tujuannya memang untuk dibagi.

Continue reading

Belajar Merawat Pernikahan dari Ummu Balqis

dscn1674Siang tadi saya mengikuti talkshow bertajuk Rawatlah Pernikahanmu yang diselenggarakan oleh Forum Kajian Muslimah Setjen Kemenkeu. Pembicaranya adalah Ummu Balqis, pemilik akun instagram @ummubalqis.blog dan @babyhijaber, pendiri sekaligus creative director brand @byummubalqis, juga inisiator Jabodetabek Muslimahpreneur dan founder Dunia Dongeng Anak. Saya tak mengikuti dari awal, sih, hanya kebagian sesi tanya-jawab saja dengan perempuan lulusan FMIPA ITB dan LaSalle Fashion College ini. Namun, dari kesempatan yang terbatas itu saya tetap bisa belajar dan mengambil hikmah melalui pertanyaan-pertanyaan peserta (yang terasa dekat sekali dengan kehidupan saya sendiri sehari-hari) dan jawaban dari pemilik nama asli Ernie Susilowati yang juga mommy dua anak ini.

  1. Perempuan baiknya di rumah, terasa bahwa memang harusnya akan lebih maksimal merawat pernikahan termasuk anak-anak kalau tidak bekerja di sektor publik, tetapi bagaimana dengan keluarga (orangtua) yang sepertinya tidak akan setuju jika keluar dari pekerjaan?

Jawaban: Yang penting suami men-support, termasuk mendukung jika istri memang mau resign. Sementara itu, tunjukkan bakti (misalnya dengan waktu yang lebih fleksibel bisa lebih banyak membantu orangtua) dan buktikan ketika kita tidak memiliki peran ekonomi tetapi bisa tetap berkarya, walaupun tidak melulu berupa menghasilkan uang.
Curhatlah ke ortu kita, anak zaman sekarang dengan kemajuan gadget harus lebih diupayakan kontrol dari ortunya, jadi dengan di rumah bisa lebih memantau. Contoh yang sudah dijalankan oleh Ummu Balqis sendiri yaitu dengan kalimat seperti ini: “Ma, aku kan pendidik, kerja dari jam 10 sampai jam 8 ngajarin orang-orang, anak malah jarang ketemu. Takutnya, ngajarin anak orang sampai hebat tapi anak aku sendiri nggak hebat gimana?”.

Sounding dulu sejak 6 bulan sebelumnya, jangan tiba-tiba. Dari cerita bertahap ini akhirnya akan menyebut solusinya, “Kayaknya resign aja, ya, Ma…”. Jadi jangan mendadak, awali dengan curhat. Bukan berarti nyuruh resign ya, karena kemampuan orang beda-beda. Kalau bisa berperan maksimal dengan status ibu bekerja, bagus juga.

Continue reading

Kenangan Kalender Abadi

Sepasang muda-mudi menyetop angkot yang saya tumpangi sore itu di Jatinegara. Mereka naik dengan membawa serta sebuah kardus berukuran besar. Meski bisa saja isinya adalah barang kulakan, alat rumah tangga atau yang lain lagi, saya menerawang (ngasal, maksudnya) bahwa yang mereka angkut itu adalah suvenir nikahan. Lokasinya pas, sih (walaupun Pasar Jatinegara juga terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan perlengkapan rumah tangga).

Sepuluh tahun yang lalu saya pun berbelanja cendera mata untuk resepsi pernikahan kami di lantai dasar Pasar Mester Jatinegara. Saya memperoleh info tempat penjualan ini dari forum Weddingku yang beralamat di http://discussion.weddingku.com/. Forum ini masih eksis tapi saya tidak berhasil menemukan arsip diskusi yang lama. Melalui Weddingku pula saya mendapatkan gambaran mengenai alternatif souvenir yang bisa dibeli berikut harganya. Pilihan saya jatuh ke kalender abadi, harganya tahun 2006 masih di bawah Rp5.000/pc (lupa persisnya, mungkin Rp3.500 ya). Intinya sih pengin cari tanda mata yang unik sekaligus bermanfaat bagi para tamu, meskipun kalau dipikir-pikir sekarang apa ya ada orang yang masih serajin adik saya di Solo sana mengganti angka kalendernya setiap hari :D.

img_20160630_104312.jpg

Berhubung hasil googling menyiratkan bahwa suvenir yang nyata-nyata menampilkan tulisan nama yang jelas akan kurang terpakai, jadi saya sengaja tidak memesan grafir/tambahan tulisan nama pengantin. Cukup diselipkan saja kertas dengan tulisan itu (pesan sekalian di tempat pembuatan undangan). Agak nyesel sih sekarang, sepertinya kan se-nggak mau-nggak maunya orang juga bakal tetap dipakai ya, minimal sebagai pajangan. karena dalam jumlah besar tentu tidak bisa langsung hari itu juga tersedia ya suvenirnya, jadi saya bolak-balik ke sana, pertama untuk berburu, deal, dan memesan (ditemani adik kelas di kampus), kedua untuk mengambil pesanan (ditemani sepupu). Dulu rasanya Jatinegara itu jauuuh banget dari Bintaro, pakai acara muter-muter pula karena naik kendaraan umum. Pulangnya, karena harus membawa dua kardus besar, saya pilih naik taksi yang ongkosnya juga lumayan (artinya sih memang jauh ya, bukan hanya perasaan saya saja). Eh, sekarang malah lewat pasar itu setiap hari, hahaha.