“Di sini makanku diatur, Bu. Bosan! Menunya itu lagi itu lagi. Berat badannya dipantau terus.”
Kira-kira demikianlah keluhan Aries Susanti Rahayu, tokoh utama dalam film 6,9 Detik, yang menggambarkan betapa beratnya pemusatan latihan bagi para atlet. Angka 6,9 detik yang dijadikan judul film adalah catatan waktu yang diraih oleh Aries dalam Asian Games 2019 untuk cabang olahraga panjat tebing. Aries yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi di bawah rata-rata berhasil mempersembahkan dua medali emas dalam ajang kompetisi olahraga se-Asia itu. Perjuangannya sejak kecil memang begitu menginspirasi, hingga Lola Amaria tertarik mengangkat cerita hidup perempuan asal Grobogan ini ke layar lebar.
Aries memerankan dirinya sendiri versi dewasa dalam film berdurasi 80 menit ini. Ya, filmnya memang terhitung singkat. Keterbatasan waktu membuat beberapa bagiannya seperti dinarasikan dengan agak buru-buru menurut saya, sehingga belum sempat kita mencerna maksud dan dampak dari narasi tersebut, cerita sudah berpindah lagi. Namun, akting para pemain patut diacungi jempol. Pelatihan akting intensif dalam waktu singkat yang dijalani oleh Aries di mata saya amat berhasil. Tentu memang tugasnya bisa dikatakan lebih mudah karena toh tidak perlu mencari informasi mengenai tokoh yang diperankan, tetapi sebagai seseorang yang sehari-harinya bukan bergiat di bidang seni peran, akting Aries jauh dari kesan kaku. Ada, kan, orang yang kesulitan tampil di depan kamera karena ‘demam panggung’. Sulit juga pastinya mencari aktris profesional yang bisa memanjat secepat “Spider-woman Indonesia” ini agar adegan panjat yang berkali-kali disuguhkan itu tetap natural, sehingga pilihan yang diambil sudah tepat. Pemeran Aries kecil maupun ABG, juga keluarga dan orang-orang di sekitarnya tampil luwes dengan pengucapan bahasa Jawa yang tidak terkesan dipaksakan.
Tentu, perjuangan Aries, atau dalam film dipanggil Ayu, bukan sekadar soal pemantauan asupan. Melalui surat-suratnya ke sang ibunda, Aries memang dikisahkan tersiksa akibat begitu ketatnya aturan asrama. Boro-boro, deh, boleh jajan. Tekanan yang begitu kuat akhirnya membuat Aries sempat memberontak. Bukan sekedar jajan, malah sekalian dugem dan memcoba minum-minum.
Bagian yang paling menyentuh adalah ketika Aries mulai mempertanyakan ketidakhadiran ibunya. Curhatan yang semula menggambarkan kedekatan seorang anak kepada ibunya yang terpisah jarak lantas berubah menjadi ungkapan kemarahan. Ibu Aries memang bekerja sebagai TKW demi memenuhi kebutuhan keluarga dan karenanya dalam waktu yang cukup lama tidak bisa mendampingi Aries yang sedang mengalami transisi dari masa anak-anak ke dewasa. Ibu juga yang menjadi penyemangat Aries untuk terus bertahan, bahkan sosoknya membuat Aries memutuskan untuk kembali setelah sempat hendak menyerah. Jika berhasil menang, Aries bertekad ibunya harus berhenti sebagai TKW agar bisa bersama-sama tinggal serumah lagi.
Selain semangat tak kenal lelah, kehangatan keluarga memang tergambar jelas dalam film ini. Dengan kondisi ibu yang jadi harus bekerja sejauh itu, mungkin tebakan penonton adalah tokoh ayah tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga entah karena sakit atau memang sifatnya tidak bertanggung jawab, bahkan mungkin tidak peduli terhadap istri dan anak. Akan tetapi, sosok bapak dalam 6,9 Detik ini tetap bekerja dengan baik, meski mungkin hasilnya tidak mencukupi seluruh keperluan keluarga. Bapak juga tetap mengayomi ketiga putrinya dengan penuh kasih sayang. Cukuplah drama dalam film ini ditunjukkan melalui pergulatan batin dan tempaan fisik yang dialami tokoh utamanya. Aries/Ayu berhasil membuktikan bahwa dengan kekuatan tekad, kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap godaan, dan dengan pertolongan Allah SWT, keberhasilan dapat diraih.
Writober Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta hari kedua, tema “Jajan”.
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Pingback: Rekap Writober | Leila's Blog