Awalnya saya kira film Pretty Boys adalah film komedi semata. Ada pula anggota salah satu grup yang saya ikuti yang langsung mencela begitu masuk kiriman potongan video promosi film ini yang menampilkan Vincent dan Desta dalam dandanan amat feminin. Yah, memang, kalau dalam Islam ada larangan berpakaian atau bergaya menyerupai lawan jenis, ya. Namun, saya memutuskan untuk mencari tahu lebih dulu, film tentang apakah ini? Ekspresi duo kocak ini di poster menimbulkan tanda tanya soalnya. Kenapa muka Vincent seperti datar cenderung ke lelah begitu? Kenapa Desta melakukan gestur membuka mata? “Buka mata” sering digunakan sebagai kiasan untuk membuka juga pikiran, hati, atau wawasan, atau dengan kata lain menjadi peduli. Kepedulian terhadap hal apakah yang diangkat dalam film ini?
Karena penasaran, saya mencari tahu dulu. Saya temukan tulisan ini di Tirto:
Film produksi The Pretty Boys Pictures dan Anami Films ini terinspirasi dari realita yang terjadi pada dunia pertelevisian Indonesia yang jarang diangkat ke dalam layar lebar. Imam Darto sebagai penulis skenario mencoba menangkap keresahan yang selama ini ia rasakan mengenai industri televisi sekarang ini yang rela melakukan apapun demi sebuah rating.
Berdasarkan siaran pers Pretty Boys, ide awal film ini berawal dari keprihatinan Tompi terhadap tayangan-tayangan televisi yang mulai bergeser jauh dari pakemnya.
“Banyak orang yang mengubah kepribadian mereka saat tampil di televisi hanya agar terkenal. Mereka saling mem-bully, dan berdandan tidak sesuai kodrat. Orang-orang yang bermimpi bisa masuk televisi bisa menganggap itu sebagai panutan, ‘oh gue begini ya kalau masuk TV,” jelas Vincent yang di film ini menjadi tokoh utama.
Senada dengan Vincent, Desta pun beranggapan hal yang sama.
“Tayangan kurang mendidik di televisi itu seperti ayam dan telur. Siapa yang meminta duluan? Apakah berasal dari demand para penonton sehingga muncul tayangan yang kurang mendidik ataukah tayangan kurang mendidik yang muncul terlebih dulu dan tinggi rating sehingga terus menerus diproduksi? Karena itu, kami memakai tagline Televisi yang Menodai Kita atau Kita yang Menodai Televisi?” tutur Desta.
https://tirto.id/film-pretty-boys-antara-ambisi-jati-diri-nahasnya-industri-tv-eisb
Menarik, ya?
Sejujurnya saya agak tidak menyangka bahwa kritik terhadap industri pertelevisian ini datang dari kalangan yang juga lekat dengan dunia tersebut. Saya kira, mereka yang juga populer ini mungkin lebih toleran terhadap segala bully dan dandanan yang tidak sesuai kodrat, mengutip dari tulisan di atas. Yes, saya memang judgmental. Ternyata, akrab dengan suatu kondisi, berteman dengan para pelakon, tidak menghalangi para pembuat film ini untuk mengekspresikan keprihatinannya.
Vincent memerankan Anugerah dan Desta memerankan Rahmat, keduanya merantau ke ibukota untuk mengadu nasib di bidang hiburan. Mereka akhirnya bekerja di restoran sambil nyambi jadi komika di situ dan kadang-kadang mengambil job sampingan apa saja, termasuk menjadi ‘badut robot’. Kesempatan akhirnya datang ketika mereka dapat pekerjaan sebagai penonton bayaran, lalu melejit jadi co-host acara itu sendiri. Demi kelucuan, keduanya sering diminta bergaya ala perempuan. Kesuksesan datang, uang tak lagi jadi masalah, Rahmat menikmatinya, sedangkan Anugerah mulai galau.
Film ini disajikan dengan menarik. Humornya pas, kita diajak tertawa lepas (kekompakan VinDes dalam tektokan sudah tidak perlu diragukan lagi), tetapi adegan mengharukannya pun menyentuh. Tampilnya sejumlah cameo ikut mewarnai film ini. Selesai menonton, rasanya memang mata lebih terbuka, bahwa tidak semua penggiat dunia hiburan suka dengan gaya lawakan yang berisiko memengaruhi penonton itu (cara bercanda dengan ejekan apalagi sampai main fisik, misalnya). Masih ada yang peduli, bahkan meniatkan diri membuat film seperti ini.
Writober Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Jakarta hari keenam, tema “Kenapa?”.
#Writober #RBMIPJakarta #IbuProfesionalJakarta
Pingback: Rekap Writober | Leila's Blog