Echoist, Kebalikan dari Si Narsis

Bulan lalu saya membuat sebuah tulisan untuk nantinya digabungkan dalam sebuah buku karya bersama komunitas yang dilombakan di sebuah penerbit. Tema yang diangkat sebagai benang merah tulisan para peserta adalah self love. Sepengetahuan saya, kepedulian terhadap isu perlunya mencintai diri sendiri memang sedang meningkat. Setidaknya sebulan sekali saya dapati ada webinar atau kulwap yang membahas soal ini, atau ada komunitas/platform yang menjadikan self love sebagai “kampanye bulan ini”.

Mbak Analisa Widyaningrum, psikolog yang menjadi narasumber di sebuah webinar yang saya ikuti, menjelaskan bahwa self love adalah keadaan di mana seseorang mampu mengapresiasi diri sendiri baik secara fisik, psikis, dan spiritual. Dengan demikian, seseorang akan “kembali ke dalam diri” dan terkoneksi dengan diri sendiri, mempercayai kekuatan diri sepenuhnya.  Terdapat lima komponen self-love, yaitu self-knowledge, self-acceptance, self-being, self-transcendence, dan self-renewal

Karena konteks webinar ini sebenarnya adalah agar orang tua mampu mendukung anak dalam mencintai dirinya, maka yang dijelaskan sebagai efek dari self love di antaranya adalah kuatnya kepercayaan diri anak. Kepercayaan diri ini kemudian akan membangkitkan sikap positif anak, seperti adanya tekad yang kuat, pemahaman bahwa dirinya layak mendapatkan yang terbaik, tidak mudah menyerah pada kegagalan, dan tidak cenderung menarik diri secara sosial.

Dampak Kurangnya Self-Love

Kurangnya self-love bisa membuat anak mengalami depresi, menyakiti diri sendiri, dan rentan menjadi korban atau justru pelaku bullying. Perilaku ini bisa jadi terbawa hingga dewasa, disadari maupun tidak. Selain karakter bawaan individu, self love dan self esteem memang juga dipengaruhi oleh pola pengasuhan, status sosial ekonomi, hingga lingkungan sekitar.

Maka, tak heran jika dalam kondisi pandemi yang menekan, seseorang bisa lupa sama sekali untuk mencintai dirinya sendiri. Apalagi jika peran yang dipegangnya menuntut untuk seolah selalu harus mendahulukan orang lain. Termasuk ibu-ibu yang harus merawat dan menjaga keluarga yang (sempat) menjadi lebih banyak di rumah, bertambah tugas mendampingi anak-anak belajar jarak jauh, bahkan mungkin juga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga ketika kesulitan keuangan menerpa seiring pergerakan ekonomi yang sempat melambat. Banyaknya webinar, kulwap, dan sejenisnya yang membahas self-love moga-moga bisa meningkatkan kesadaran semua pihak akan perlunya sikap saling mendukung di tengah tantangan.

Dengan apresiasi terhadap diri, kita bisa merasa lebih nyaman pada diri sendiri, memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, serta merangkul sisi positif diri tanpa arogansi. Tentu saja, self-love tidak sama dengan self-centeredness atau egoisme, apalagi narsisisme. Nah, saat mencari referensi untuk menyusun tulisan tentang self-love itulah saya baru mengetahui bahwa terdapat suatu kondisi yang merupakan kebalikan dari narsisis, yaitu echoist. Saya belum menemukan padanan tepatnya dalam bahasa Indonesia, apakah “ekois” atau “si penggema”, rasanya janggal juga, ya.

Kisah Echo dan Narcissus

Penamaan kondisi ini, sebagaimana narsisisme, juga diambil dari mitologi Yunani. Alkisah, Narcissus adalah pemuda yang saking rupawannya jatuh cinta pada bayangannya sendiri yang terpantul di air kolam. Adapun Echo adalah peri gunung yang tertarik kepada Narcissus. Sayangnya, Echo pernah dikutuk oleh Hera akibat kemarahan ratu para dewi itu kepadanya. Walhasil, Echo yang sebetulnya suka mengobrol dan terkenal akan suaranya yang merdu ini hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengulangan dari kata-kata terakhir yang didengarnya. Dari situlah muncul istilah echo atau gema yang merupakan salah satu fenomena pada bunyi berupa pantulan setelah bunyi asli selesai.

Kisah Narcissus dan Echo berakhir tragis. Narcissus jijik pada Echo yang terus-menerus mengulangi kata-kata terakhir dari kalimat yang lelaki itu ucapkan. Apalagi, sebagian rangkaian kata-kata ini memang terkesan memalukan kalau dipisahkan dari kalimat lengkapnya. Kendati ditolak secara kasar, Echo tetap mencintai Narcissus. Ketika Narcissus akhirnya mati masih dalam keadaan penuh kekaguman akan bayangannya sendiri, Echo meratapinya.

Lalu, apa yang dimaksud dengan echoism? Seperti Echo, seorang echoist bisa menggemakan kebutuhan dan suara orang lain, tetapi kesulitan “menyuarakan” keinginan sendiri. Istilah ini sendiri tergolong belum begitu lama digunakan dalam dunia psikologi. Psikolog Craig Malkin mengangkat topik ini dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2015, Rethinking Narcissism. Menurutnya, echoism adalah kurangnya narsisime yang sehat. Iya, dalam kadar yang tepat, narsisisme ada manfaatnya juga seperti untuk meningkatkan optimisme, membangkitkan semangat juang terlebih setelah kegagalan, memiliki cita-cita, dan membangun hubungan yang sehat. 

Susahnya Jadi Echoist

Pada dasarnya adalah wajar jika kita menyadari punya suatu kelebihan, merasa diri unik dan spesial, selama tidak berlebihan. Namun, orang yang memiliki echoism biasanya tidak memiliki perasaan ini, hingga kesulitan mengekspresikan diri. Mereka seperti tidak memiliki identitas diri dan keinginan yang jelas. Memberikan dukungan bagi orang lain adalah “jalan ninja” seorang echoist

Orang dengan tingkat echoism yang tinggi biasanya:

  • takut dipuji, bahkan kalau dipuji berusaha mencari alasan lain. Misalnya saat diapresiasi karena mendapat nilai ujian yang bagus, ia akan menanggapi bahwa itu karena soalnya yang memang dibuat terlalu mudah atau karena gurunya murah hati
  • secara aktif menolak perhatian yang ditujukan padanya, malah bisa marah kalau ada orang yang bersikeras menunjukkan perhatian, karena merasa diri tidak pantas
  • takut menjadi beban atau merepotkan orang lain
  • berfokus pada pemenuhan kebutuhan orang lain sampai mengabaikan bahwa dirinya juga punya kebutuhan
  • percaya bahwa upayanya untuk memenuhi keinginan orang lain dapat membuat mereka tetap menyayanginya
  • kesulitan menentukan batas atau menolak
  • percaya bahwa mengekspresikan opini atau kebutuhan diri dapat membuat ia kehilangan cinta dari orang lain
  • sering menyalahkan dan mengkritik diri sendiri 
  • sangat takut terlihat mencari perhatian atau egois
  • jarang sekali minta pertolongan orang lain, bahkan menolak tawaran bantuan, padahal adakalanya jelas-jelas memerlukan, karena khawatir seperti terlalu menuntut
  • punya empati yang tinggi.

Echoism sendiri kadang jadi rancu dengan kepribadian pasif. Namun, orang dengan echoism justru kerapkali tidak pasif, apalagi kalau sudah berkaitan dengan upaya mengalihkan agar perhatian tertuju ke orang lain saja. Misalnya, saat secara aktif memancing lawan bicara supaya lebih banyak bercerita, agar jangan dirinya yang harus membuka diri. Atau ketika denan giat berusaha membantu orang lain sebisanya.

Dari mana datangnya echoism pada seseorang? Salah satu yang berpengaruh adalah pola asuh. Kalau dipikir-pikir memang ada benarnya juga. Selengkapnya bisa dibaca di buku yang insya Allah memuat tulisan saya itu. Namun, berbeda dengan mayoritas penjelasan pada artikel psikologi yang saya baca, orang tua saya justru tidak menerapkan narcissistic parenting yang kerap menjadi pemicu tumbuhnya echoism pada anak. Terus, seperti apa, dong? Tidak seru kalau diceritakan sekarang, nanti bisa dibaca sendiri di buku yang masih dalam proses penilaian ini.

Oh ya, para ahli tidak menggolongkan echoism sebagai kondisi kelainan mental atau gangguan kepribadian, tetapi sebagai sifat. Namun, echoism bisa berdampak besar terhadap kesehatan mental, kesejahteraan emosional, sampai kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan yang sehat.

Seseorang dengan echoism bisa saling tertarik dengan orang yang narsis, dan hasilnya adalah hubungan yang seolah saling melengkapi padahal kurang baik. Belum lagi, tidak diperolehnya apresiasi atau perhatian yang positif bisa membuat seseorang merasa kesepian, terisolasi, bahkan depresi. Bisa juga ada orang yang baik, tulus, dan penuh perhatian mendekati, tetapi orang dengan echoism ini tetap konsisten menolak kebaikan yang ditawarkan sampai membuat orang yang baik tersebut berhenti berusaha, bahkan mungkin sampai sakit hati.

Kiat Menaklukkan Tantangan

Kalau sudah menyadari diri punya kecenderungan echoism, apa yang harus dilakukan? Pertama, tentu kesadaran ini sendiri sudah merupakan langkah maju.

Berikutnya, stop menyalahkan diri sendiri. Coba, adakah kalimat-kalimat ini sering kita lontarkan?

“Harusnya tadi aku nggak minta tolong, ya.”

“Kalau aku jujur soal perasaanku, nanti mereka tambah sedih.”

“Ah, aku kecewa gini, kan, karena akunya yang kelewat sensi aja.”

“Coba aku tadi nggak menyampaikan keberatanku, ya. Pasti kami tadi nggak berantem. Harusnya aku memang diam aja, deh.”

Kalau sudah begitu, daripada mencari-cari kesalahan diri sendiri, mari akui perasaan sebenarnya, entah itu kemarahan, kekecewaan, atau ketakutan. Misalnya,  kita kepikiran bahwa salah kita sendiri sampai ada orang lain yang nggak menyukai kita. Sebenarnya, mungkin maksud kita adalah merasa frustrasi karena ingin juga diperhatikan orang tetapi khawatir kalau kita mengungkapkan perasaan dan masalah kita malah jadi merepotkan.

Memiliki lingkaran pertemanan yang positif juga bisa membantu agar kita lebih nyaman berekspresi dan pelan-pelan menghentikan kebiasaan mengingkari kebutuhan diri sendiri. Kalau belum siap seterbuka itu dengan orang lain. ekspresi terbatas seperti menulis jurnal bisa sangat membantu. Menuangkan perasaan lewat tulisan bisa membantu mengurai segala pemikiran yang sebetulnya ingin ditumpahkan tetapi terhalang oleh keengganan mengganggu orang lain tadi. Nantinya, tulisan tersebut bisa dibaca dan dieksplorasi lagi. Aktivitas seni seperti melukis dan membuat puisi juga bisa dicoba.

Kalau sampai echoism ini sangat mengganggu, menemui psikolog untuk berkonsultasi juga dapat dilakukan. Bisa pertimbangkan untuk membawa catatan agar tidak terlewat menyebutkan ciri-ciri serta reaksi dan efek apa yang sudah dirasakan selama ini. Perlakuan atau terapi dari psikolog untuk menangani kondisi ini bisa beragam. Perjalanannya juga mungkin panjang sampai kelak kita bisa leluasa mengungkapkan perasaan tanpa selalu ketakutan. Namun, percayalah, diri kita berharga sehingga proses ini juga layak dijalani.

#Writober2021
#RBMIPJakarta
#Suara

Sumber: Healthline, Psychology Today, Wikipedia

Sumber gambar: freepik

19 thoughts on “Echoist, Kebalikan dari Si Narsis

  1. Self love bisa di katakan kita secara utuh ya mba. Aku liatnya juga pandemi ini berkahnya makin mengajarkan banyak hal kita sebagai individu ya

  2. Wah, saya jadi tahu ada istilah echoist & echoism ini, yg berkaitan dengan kesehatan mental kita. Jadi banyak pengetahuan baru setelah membaca postingan ini.

    • Lebih karena nurture sih, ya. Bisa karena ortunya narsisis sehingga anak terbiasa “terlalu merendah” sampai jadi echoist. Atau sebaliknya karena ortunya justru echoist yang kebablasan dalam menanamkan apa yang sudah dijalani sendiri seperti menunjukkan kelebihan itu cenderung ke sombong, menonjol itu nggak bagus, dst.

    • Nah, kalau penjelasan yang aku baca, echoist ini bisa bersemangat kok, tapi bersemangat menghindari perhatian yang tertuju padanya. Cuma memang bagi kita jadinya hampir sama saja dengan nggak punya semangat hidup sendiri, ya.

  3. KIsah Narcissus dan Echois ngena bnaget nih. Self Love penting banget supaya diri semakin menyadari jika kelebihan dan kekurangan dimiliki setiap orang. Terima kasih sudah berbagi tulisan bagus.

  4. Saya selalu suka loh pembahasan mba Analisa, aku ngikutin juga akun IGnya, aku baru tau loh nih jadinya ada si Echoist ini, tp kdg beberapa ciri echoist itu kyanya krn pola asuh juga kali yaa

  5. Aku pernah mendengar akan sebuah alkisah dari
    Narcissus ini tapi baru tau bahwa Ia terjerat kisah dengan Dewi bernama Echo
    Teryata uniknya kisah dari Yunani ini menjadi istilah dalam psikologi
    Saat ini pun sudah semakin banyak yg menyuarakan akan pentingnya self love

  6. Trims, membuka kesadaran baru tentang pengenalan diri. Agak rancu dengan seseorang yang tak mau ribut. Misalnya kasus, bila ada masalah si echo ini akan bilang, ya aku yang salah. Pada titik itu si narsis, akan senang karena merasa dirinya benar. Padahal faktanya si echo yang benar. masalah tak selesai. Karena si narsis perlu terus menerus bahwa dirinya selalu benar. Lama kelamaan masalah menumpuk. Terjadi berikutnya seperti magma keluar dari perut bumi. Blar. Hubungan jadi tak terselamatkan. Rugi. Sebab bila si narsis dan echo itu suami isteri, kasian anak-anaknya.
    Saya kira kondisi seseorang demikian bukan label tapi karena situasi yang membuat ia harus bersikap seperti itu.
    Tak baik juga kalau lama kelamaan si baik (awalnya ia tak bermaksud menjadi demikian) jadi si echo. Hubungan hablum minannas, seharusnya si baik bilang pada si narsis, hei kamu seharusnya tidak demikian. Tak baik juga terlihat adem tentrem tapi masalah tidak selesai. Maunya bila semua bertumbuh si narsis dan si echo jadi pribadi baik. Adem tentrem ya benar-bener sakinnah ma waddah wa rahmah.
    Tercerahkan.

Leave a reply to unggulcenter Cancel reply