Belakangan ini saya tidak banyak menjadikan film animasi baru sebagai pilihan di bioskop. Saya menonton The Lion King versi live action ini karena faktor nostalgia. Benar saja, hampir seluruh adegannya sama dengan film aslinya yang dirilis tahun 1994. Jadinya, ya, tentu saja jalan cerita mudah ditebak, tapi sejumlah adegan dramatis tetap menarik ditunggu visualisasinya, apalagi dengan teknologi yang memungkinkan segalanya tampak nyata.

Beberapa tambahan baru dalam cerita seperti kisah Scar yang ternyata sempat naksir Sarabi agak bikin mengernyitkan kening, tapi yang lain-lain oke sajalah. Penampilan Timon dan Pumbaa versi baru sukses memancing tawa, walaupun memang humornya mungkin lebih mudah dipahami oleh orang dewasa (bukan berarti leluconnya R-rated, ya, tapi maksudnya kadang nyambung ke referensi lain yang anak-anak belum tentu paham).

Sebagaimana fajar dan senja nan jingga yang menandai perpindahan dari gelap ke terang dan sebaliknya setiap hari, hidup ini juga terus berputar. The Lion King menggarisbawahi the cycle of life, di mana kita semua sudah ditakdirkan ambil bagian di dalamnya, tetapi keputusan untuk bergerak ada di tangan kita. Mau terus terpuruk dalam rasa bersalah lalu sembunyi dan memilih hidup baru atau menerima tantangan untuk mengambil risiko, kita yang menentukan.