
Writober 3: Meski Tak Mungkin Nihil Tantangan, Jangan Lupa Bahagia, Bu!

Pandemi Covid-19 mengubah banyak aspek dalam kehidupan. Demi mengatasi penularan, sejumlah pembatasan aktivitas pun dilakukan. Tak terkecuali soal sekolah. Hingga kini, banyak sekolah belum mengadakan lagi sesi tatap muka secara langsung untuk kegiatan belajar mengajar. Termasuk sekolah anak-anak saya.
Agar aktivitas belajar dapat tetap berjalan, pastinya dibutuhkan sarana lain sebagai perantara. Teknologi menjadi pilihan utama di daerah-daerah yang kondisinya memungkinkan. Penggunaan gawai di kalangan anak sekolah pun meningkat, karena dengan alat inilah materi pelajaran sekolah diberikan. Mau tak mau, siswa maupun orang tuanya harus beradaptasi.
PSBB maupun pembatasan lainnya yang diterapkan oleh pemerintah beberapa bulan terakhir ini membuat aktivitas di luar rumah menjadi lebih terbatas. Demi mencegah penularan Covid-19, mulai dari kantor, pusat perbelanjaan, hingga sekolah di zona tertentu ditutup atau hanya boleh beroperasi secara terbatas untuk sementara waktu. Saya termasuk yang lebih banyak bekerja dari rumah akhir-akhir ini.
Lebih banyak berada di rumah artinya ada waktu dan tenaga yang dihemat, khususnya karena tidak perlu melakukan perjalanan ke kantor maupun mengantar-jemput anak-anak yang bersekolah. Akhir pekan atau hari libur pun dihabiskan di rumah saja, tanpa jalan-jalan seperti yang biasa dilakukan. Ada waktu yang bisa lebih dimanfaatkan untuk bermain dan mendampingi anak-anak. Juga tersedia waktu luang untuk menjalankan hobi ataupun berolah raga.
Sekian bulan hanya menjadi pengamat soal pagebluk Covid-19, sambil sesekali menuliskan hal-hal terkait mereka yang terdampak untuk tugas kantor, Agustus lalu saya dan keluarga akhirnya mengalami sendiri, menjadi yang terdampak langsung. Melalui penelusuran kontak erat dari kasus yang sudah ada, saya dan suami menjalani pemeriksaan swab PCR yang hasilnya ternyata positif.
Akhirnya bulan ini saya memasuki tahapan baru dalam perkuliahan Ibu Profesional, yaitu Bunda Produktif. Sebagai tugas pertama, kami diminta membuat Hexa House.
Berikut adalah desain Hexa House saya. Standar sih, ya, tapi setidaknya memuat ruangan yang saya impikan yaitu perpustakaan dan ruang kerja tersendiri. Ruang kerja dan ruang belajar memang terasa diperlukan saat ini, agar bisa meletakkan peralatan kerja pada tempatnya, tidak seperti sekarang yang memanfaatkan ruang tidur karena keterbatasan tempat.
Alhamdulillah, hasil swab PCR terakhir kami pekan lalu sudah dinyatakan negatif. Dengan demikian, kami juga sudah mulai bekerja di kantor meskipun tidak setiap hari. Kami memang masih bisa ke kantor menggunakan sepeda motor, tetapi bagi banyak orang, transportasi publik menjadi satu-satunya pilihan karena faktor jarak, biaya, dan kepraktisan. Di Jakarta sendiri ada banyak pilihan moda transportasi umum, di antaranya angkutan kota, bus Transjakarta beserta feeder-nya, kereta commuter line, MRT, hingga LRT.
Namanya milik publik pastilah digunakan bersama-sama dengan (banyak) orang lain, dan di sinilah tantangannya. Kita harus menerapkan physical distancing, tetapi bagaimana kalau jarak antarpenumpang saja sulit untuk dijaga betul agar memenuhi syarat pencegahan penularan?
Tiga pekan ini merupakan masa yang tak terlupakan bagi kami. Jika sebelumnya hanya memantau berita-berita tentang orang yang positif Covid-19, akhirnya kami mengalaminya sendiri meskipun alhamdulillah gejalanya sangat ringan. Saat ini, meski hasil swab PCR terakhir sebagian dari anggota keluarga kami masih positif, kami semua sudah dinyatakan boleh beraktivitas kembali oleh petugas dari Puskesmas yang selama ini ditugaskan untuk memantau. Tentu kami juga masih berhati-hati, tak ingin mengambil risiko menularkan kepada orang lain. Bepergian untuk urusan yang bukan darurat rasanya tidak masuk dalam agenda kami dalam waktu dekat.
Dengan semakin meluasnya kasus Covid-19, adakalanya anak-anak perlu menjalani tes Covid khususnya tes swab karena satu dan lain hal. Misalnya karena diminta oleh provider perjalanan atau pendidikan, atau karena sudah terjadi kontak erat antara anak dengan orang yang positif Covid-19.
Hari ini putri pertama kami mengikuti tes swab untuk kedua kalinya. Ia dinyatakan positif untuk tes swab pertamanya, sebagaimana kami selaku orang tuanya. Kemungkinan besar memang tertular dari kami berdua yang sama sekali tidak menyadari sudah terinfeksi, karena memang tidak ada gejala yang berarti.
Panjang sebetulnya kalau mau cerita tentang riwayat Covid-19 kami ini. Kali ini saya akan berfokus pada tes swab yang harus dilalui, lebih khusus lagi bagi anak-anak. Kalau tes rapid, mungkin anak sudah ada gambaran dan orang tua juga lebih mudah menjelaskan, karena prosedurnya melibatkan jarum suntik.
Menjelang peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-75, sejumlah komentar berbeda lalu-lalang di grup-grup yang saya ikuti. Ada yang mengungkapkan kerinduan akan kemeriahan perayaan tujuhbelasan yang biasanya diisi dengan berbagai lomba dan keriaan. Ada juga yang justru melontarkan kegemasan pada perangkat lingkungan yang tetap bersikeras mengadakan acara pada masa seperti ini, bahkan menyebut warga yang tidak mau berpartisipasi sebagai tidak nasionalis.
Peringatan hari kemerdekaan dari tahun ke tahun memang selalu diiringi dengan berbagai kegiatan. Kesibukan umumnya dimulai dengan pemasangan bendera dan umbul-umbul di lingkungan rumah. Hal ini tentu mendatangkan rezeki pula bagi para penjual bendera dan pernak-perniknya. Kepanitiaan pun dibentuk untuk menyelenggarakan acara terkait seperti doa bersama, lomba-lomba, hingga panggung hiburan yang kadang sampai menutup jalan umum.
Kemarin saya mengikuti IG live @smartmumsid bersama nutrisionis Rachel Olsen @sehat.ala.rachel, dipandu mommy hits @vibrievb. Temanya menarik nih, tentang bagaimana menjaga nutrisi keluarga pada saat pandemi.